Oleh: Andi Tenriawaru Mallombasang, S.H., S.Pd., Gr
Setiap anak adalah amanah dan anugerah dari Tuhan. Masa depan berada di atasnya, dan di dalamnya ada potensi yang belum dieksplorasi. Namun, siapa yang bertanggung jawab atas perkembangan anak saat ini? Siapa yang harus mengajar mereka? Dan siapa yang harus ditunjukkan sebagai contoh?
Sekolah tidak cukup untuk mendidik karakter anak di tengah kompleksitas zaman digital, ketika teknologi berkembang dengan cepat, pergaulan semakin liar, dan nilai-nilai keadaban semakin pudar. Sekolah sebagai pusat penguatan nilai, rumah sebagai madrasah pertama, dan masyarakat sebagai tempat hidup anak harus bekerja sama. Formasi pembentukan karakter anak akan terganggu jika salah satu pilar runtuh.
Rumah: Madrasah Pendidikan Pertama yang Sering Diabaikan
Banyak orang tua mengharapkan banyak hal dari sekolah. Mereka percaya bahwa menyekolahkan anak cukup untuk menyelesaikan tanggung jawab pendidikan. Ada banyak orang tua yang marah ketika anaknya tidak berperilaku baik dan kemudian menyalahkan guru atau sekolah.
Padahal, rumah adalah tempat pendidikan sebenarnya dimulai. Bayi merekam suara, gerak tubuh, emosi, dan sikap orang tuanya sejak dalam buaian. Dari rumah, mereka juga belajar tentang kasih sayang, kejujuran, kesabaran, kedisiplinan, dan cara memperlakukan orang lain.
Sayangnya, banyak rumah kini kehilangan fungsinya sebagai madrasah. Orang tua sibuk bekerja, menggunakan perangkat elektronik, dan mengejar tujuan global. Anak juga lebih sering menghabiskan waktu di layar daripada menghabiskan waktu dengan kasih sayang. Anak-anak tumbuh tanpa prinsip yang kuat.
Pola asuh positif sangat penting dalam hal ini. Orang tua tidak hanya harus memberikan kebutuhan materi, tetapi juga harus hadir secara emosional dan spiritual. Harus ada percakapan, pelukan, teguran yang tulus, dan doa yang terus-menerus.
Sekolah: Pendidikan Harus Lebih dari Sekadar Prestasi Akademik
Sekolah, yang merupakan perpanjangan tangan orang tua, seharusnya menjadi tempat yang tidak hanya mendidik otak tetapi juga membangun moral.
Namun, dalam dunia modern, banyak sekolah yang terlalu berkonsentrasi pada orientasi akademik. Tujuan utama adalah nilai, ranking, dan prestasi olimpiade, sementara moralitas, etika, dan jiwa sosial menjadi tujuan terakhir.
Lebih parah lagi, beberapa sekolah tidak memiliki integrasi dengan rumah. Sepertinya guru tidak perlu bekerja sama dengan orang tua untuk mengajar. Padahal, anak-anak tidak dapat dididik secara utuh jika rumah dan sekolah tidak bekerja sama.
Kita juga membutuhkan pendidik yang bukan hanya memiliki kemampuan akademik yang tinggi tetapi juga memiliki kepribadian yang luar biasa. Anak-anak belajar dari tindakan, bukan dari kata-kata. Oleh karena itu, pendidik yang sabar, jujur, bertanggung jawab, dan menyayangi siswanya jauh lebih mengena daripada pendidik yang hanya pandai menyampaikan materi.
Sebagaimana kata bijak: "Character is caught, not taught." Anak menangkap keteladanan, bukan hanya diajarkan teori.
Masyarakat: Area Hidup yang Kian Mencekam
Anak-anak tidak hanya tinggal di rumah dan sekolah; mereka tinggal di masyarakat. Di situlah realitas mereka terlihat. Anak belajar secara sosial di jalanan, di warung, di media sosial, dan di tempat lain. Sayangnya, masyarakat modern seringkali menjadi sumber teror.
Saat ini, masyarakat kita menghadapi krisis yang luar biasa. Anak-anak melihat banyak hal negatif di televisi, media sosial, bahkan di rumah mereka sendiri. Ini termasuk hoaks, kekerasan, ujaran kebencian, korupsi yang dibiarkan, artis tanpa nilai yang menjadi idola, dan gaya hidup konsumtif dan hedonistik.
Anak-anak adalah peniru yang luar biasa. Jika mereka melihat sesuatu yang tidak mendidik, itu akan membentuk mereka. Oleh karena itu, semua orang harus bertanggung jawab untuk membangun masyarakat yang sehat, cerdas, dan beradab.
Dalam hal pendidikan sosial anak, RT, RW, masjid, karang taruna, dan komunitas warga harus berpartisipasi secara aktif.
Lingkungan harus menciptakan contoh, bukan bahaya.
Sinergi Tiga Pilar Pendidikan
Tidak ada satu pihak yang dapat bertanggung jawab atas pendidikan anak. Rumah, sekolah, dan masyarakat harus bekerja sama. Sekolah diperkuat dengan pengetahuan dan pembiasaan, rumah menanam fondasi akhlak, dan masyarakat menjadi ladang untuk menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata.
Selain itu, pemerintah, lembaga pendidikan, dan tokoh masyarakat harus secara sistematis menggabungkan ketiga komponen ini. Program parenting, komunikasi yang intens antara guru dan orang tua, dan gerakan moral di masyarakat semuanya harus dipromosikan kembali.
Ajakan Refleksi untuk Semua Pihak
Untuk para orang tua: jangan biarkan sekolah memberikan semua pendidikan anak Anda. Jadilah teman anak, dengarkan keluh kesahnya, doakan dia, dan bantu dia berkembang.
Bagi para guru, menjadi pengajar sekaligus pendidik. Jadilah contoh yang baik bagi anak-anak kita, karena contohlah yang membangun karakter mereka.
Untuk masyarakat: hentikan apatis, tidak boleh acuh tak acuh atau tidak peduli. Jangan biarkan racun sosial membebani anak-anak kita, karena mereka adalah calon pemimpin bangsa.
Penutup
Jika kita ingin menyelamatkan generasi, kita harus kembali ke prinsip dasar bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama. Tidak ada satu pun pihak yang dapat bertanggung jawab atas pendidikan anak. Masyarakat, sekolah, dan rumah harus bersatu, saling menguatkan, dan menunjukkan keteladanan nyata.
Anak-anak tidak hanya membutuhkan buku pelajaran; mereka juga membutuhkan kasih sayang, arahan, pengawasan, dan contoh hidup dari kita semua. Kita harus membuat ekosistem pendidikan yang sehat. Karena, sesungguhnya, ruang kelas hari ini menentukan masa depan negara.
Tentang Penulis
Andi Tenriawaru Mallombasang, S.H., S.Pd., Gr. adalah Kepala TK Bungaya di Makassar. Dia sangat memperhatikan pendidikan, terlibat dalam aktivitas parenting, dan mendukung pendidikan kritis. (*)