Rizki Aristyarini S.TP., M.Si Dosen Teknologi Pangan, Institut Teknologi Bacharuddin Jusuf Habibie Kota Parepare
Peningkatan kesadaran terhadap pola makan sehat turut memotivasi masyarakat untuk memperbaiki nutrisi harian mulai dari mencermati isi piring maupun gelasnya.
Kebiasaan ini tak jarang turut ditularkan kepada anak-anak di rumah yang statusnya dalam masa pertumbuhan. Banyak sumber bacaan maupun tontonan yang menjadi acuan dalam menambah khasanah pengetahuan terkait gizi dan kesehatan.
Namun, edukasi yang tidak utuh dapat menyebabkan ketimpangan informasi dan dapat berdampak pada implementasi menu harian. Tahukah kita bahwa kombinasi makanan tertentu ternyata menjadi penghambat penyerapan zat gizi penting?
Sejak tahun 1991 telah muncul hasil riset yang menunjukkan adanya kaitan antara konsumsi secara bersamaan pangan tinggi kalsium dan pangan tinggi zat besi dengan penghambatan penyerapan zat besi bagi tubuh. Baik kalsium maupun zat besi adalah mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Kalsium (Ca) diperlukan untuk pembentukan tulang,
pembelahan sel, hingga kontraksi otot, sedangkan zat besi (Fe) diperlukan untuk sintesis DNA dan pembentukan hemoglobin si pembawa oksigen dalam darah.
Kekurangan atau defisiensi zat besi salah satunya adalah dapat menyebabkan anemia. Zat besi heme secara umum ditemukan pada pangan hewani (artinya zat besinya terikat pada hemoglobin atau mioglobin) seperti daging sapi, hati ayam, telur sedangkan zat besi non heme sebagian besar ditemukan pada pangan nabati misalnya kacang-kacangan dan sayuran hijau.
Apabila konsentrasi kalsium dalam suatu pangan jumlahnya besar, maka dapat menghambat penyerapan zat besi apabila keduanya dikonsumsi dalam waktu yang berdekatan [1]. Hal ini menjadi fenomena yang perlu diwaspadai terkhusus bagi remaja putri yang anemia atau sedang menstruasi, ibu hamil, serta anak-anak yang dalam masa pertumbuhan pesat misalnya, bayi yang dalam masa MPASI.
Anak-anak yang baru belajar makan melalui MPASI masih dalam rentang usia 1000 hari pertama kehidupannya yakni usia 6 hingga 23 bulan. Pada usia tersebut anak-anak cenderung memerlukan pangan yang bernutrisi termasuk mineral zat besi. Defisiensi zat besi berkaitan dengan stunting pada anak, sebab dapat menyebabkan transportasi oksigen ke seluruh jaringan tubuh jadi terhambat. Akibatnya, tulang tidak dapat tumbuh dengan maksimal juga dapat menurunkan imunitas pada tubuh [2, 3].
Secara singkat, zat besi yang kita konsumsi melalui makanan akan masuk melalui lambung kemudian disimpan sebagai ferritin dalam usus halus, selanjutnya akan dilepas ke pembuluh darah melalui serangkaian reaksi kimia apabila organ tubuh tertentu memerlukannya. Penjelasan secara mendetail tentang mekanisme kalsium dalam menghambat penyerapan zat besi belum ditemukan.
Namun para ahli dengan berbagai pendekatan dalam risetnya menyimpulkan bahwa konsumsi pangan tinggi kalsium bersamaan dengan pangan yang mengandung zat besi dapat mengganggu penyerapan zat besi bahkan ada yang hingga 50% [4].
Meski demikian, hingga saat ini diperlukan studi mendetail dalam lingkup biokimia molekuler. Namun bukan berarti zat besi yang dikonsumsi kemudian terbuang begitu saja. Hanya saja, respon-respon protein yang mengatur penyerapan zat besi di usus halus dapat mengalami gangguan sinyal atau belum dapat langsung beradaptasi karena keberlimpahan kalsium diwaktu yang bersamaan [5].
Akibatnya, zat besi tidak dapat langsung dikirim ke pembuluh darah untuk digunakan oleh organ tubuh yang membutuhkan. Bayangkan kita sedang mengirim paket pada sebuah agen ekspedisi. Paket yang dianalogikan sebagai zat besi ini ternyata tidak sampai tepat waktu ke penerima paket karena ada masalah di kantor ekspedisi, misalnya proses sortir yang bermasalah.
Berbagai studi sejak dekade 1990-an telah menyebutkan bahwa kalsium dapat menghambat penyerapan zat besi. Akan tetapi, para peneliti terus menggali lebih dalam dampaknya dalam konteks jangka panjang serta mencakup kesehatan secara menyeluruh. Hasil studi meta analisis terbaru memberikan penjelasan yang menarik, bahwa efek penghambatan kalsium terhadap zat besi bersifat sementara atau jangka pendek dan tidak sampai menyebabkan penurunan jumlah hemoglobin jangka panjang. Temuan tersebut tentu perlu ditafsirkan dengan penuh kehati-hatian karena keterbatasan studi dari data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti [6].
Meski penjelasan melalui hasil riset belum sepenuhnya lengkap, ada upaya yang dapat kita lakukan guna meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh. Salah satunya adalah dengan mengonsumsi pangan kaya vitamin C atau asam askorbat dengan waktu yang berdekatan dengan konsumsi pangan kaya mineral Fe terutama non heme. Asam askorbat menciptakan suasana asam di usus halus, menjadi pemandu untuk meningkatkan kelarutan zat besi, dan membantu mengubah struktur kimia zat besi menjadi bentuk yang lebih mudah diserap di usus.
Beberapa pangan tinggi vitamin C diantaranya buah-buahan seperti jambu biji guava, lengkeng, papaya, jeruk, juga tomat. Sebuah studi menunjukkan bahwa penambahan asam askorbat pada minuman berbahan dasar protein kasein dan whey dan diperkaya dengan ferrous sulfat (zat besi) pada dosis terukur, mampu meningkatkan penyerapan zat besi pada anak-anak usia sekolah di India [7].
Pada sebuah hasil meta analisis yang lain telah diungkapkan bahwa konsumsi vitamin C (asam askorbat) bersama zat besi lebih efektif meningkatkan penyerapan zat besi non heme. Hal ini khususnya pada wanita dengan usia yang berbeda-beda serta anak-anak dengan riwayat kekurangan atau defisiensi zat besi, dibandingkan suplementasi zat besi saja tanpa asam askorbat [8].
Oleh karena itu, bukan berarti kita harus membatasi konsumsi pangan tertentu yang kaya kalsium misalnya susu, yoghurt, keju, atau produk olahan susu lainnya. Akan tetapi, bijaksana dalam mengatur waktu konsumsi akan membantu untuk memaksimalkan penyerapan zat besi bagi tubuh. Konsumsi kacang almond panggang diwaktu senggang dapat diawali atau dibarengi dengan konsumsi buah jeruk, dan diberi jeda setidaknya 1-2 jam dengan konsumsi produk susu serta turunannya.
Selain itu sebaiknya diberi jeda dengan konsumsi teh sebab kandungan tanninnya juga dapat menghambat penyerapan zat besi. Memahami interaksi mineral dalam pangan yang dikonsumsi menjadi langkah awal untuk melahirkan generasi sehat untuk Indonesia emas kelak. Yuk, kita mulai lebih bijak menyusun pola makan harian keluarga tercinta agar setiap zat gizi dapat terserap dengan optimal.
Referensi
[1] Wijaya CH, Afandi FA. Kimia Pangan Komponen Mikro. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2012.
[2] Dewi EK, Nindya TS. Hubungan tingkat kecukupan zat besi dan seng dengan kejadian stunting pada balita 6-23 bulan. Amerta Nutrition. 2017;1(4):361–368. https://doi.org/10.20473/amnt.v1i4.2017.361-368
[3] Soliman AT, Sanctis VD, Kalra S. Anemia and growth. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism. 2014;18(1)1-5. https://doi.org/10.4103/2230-8210.145038.
[4] Hallberg L, Brune M, Erlandsson M, Sandberg AS, Rossander-Hulten L. Calcium: Effect of different amounts of non-haem- and haem-iron absorption in humans. The American Journal of Clinical Nutrition. 1991;53(1): 112-119. https://doi.org/10.1093/ajcn/53.1.112.
[5] Lönnerdal B. Calcium and iron absorption-mechanisms and public health relevance. International Journal for Vitamin and Nutrition Research. 2010;80(4-5):293-299. https://doi.org/10.1024/0300-9831/a000036.
[6] Abioye AI, Okuneye TA, Odesanya AO, Adisa O, Abioye AI, Soipe AI, Ismail KA, Yang JF, Fasehun LK, Omotayo MO. Calcium intake and iron status in human studies: a systematic review and dose-response meta-analysis of randomized trials and crossover studies. The Journal of Nutrition. 2021;151(5):1084-1101.
[7] Walczyk T, Muthayya S, Wegmüller R, Thankachan P, Sierksma A, Frenken LG, Thomas T, Kurpad A, Hurrell RF. Inhibition of iron absorption by calcium is modest in an iron-fortified, casein- and whey-based drink in Indian children and is easily compensated for by addition of ascorbic acid. The Journal of Nutrition. 2014;144(11):1703-1709. https://doi.org/10.3945/jn.114.193417.
[8] Aini NH, Safitri DE. Pengaruh kombinasi vitamin c pada suplementasi zat besi terhadap kadar hemoglobin: meta-analisis. Nutri-Sains: Jurnal Gizi, Pangan dan Aplikasinya. 2021:5(2):115-124. https://doi.org/10.21580/ns.2021.5.2.6683.