Membaca Ulang Makna Damai dalam Islam

  • Bagikan

Oleh : Aditya Putra (Anggota Pemuda ICMI)

Islam adalah agama yang damai. Bahkan kata “Islam” sendiri berakar dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dari kata salima ini yang kemudian menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian (Maulana Muhammad Ali, 1980). Oleh karena itu, banyak ayat dalam Al-Qur’an, mulai dari surah Al-Baqarah, An-Nisaa, Al-Anfal, hingga Al-Hujurat yang menekankan pentingnya perdamaian ini dalam kehidupan manusia.

Namun, Islam juga sangat menekankan pentingnya keadilan. Bagi mereka yang memperhatikan Islam secara teliti, keadilan adalah salah satu ajarannya yang sangat pokok. Islam bahkan pada awalnya bukan hanya sekedar gerakan relijius, namun juga gerakan sosial ekonomi yang sangat menentang struktur sosial yang tidak adil dan menindas yang terjadi di tanah Arab.

Sedemikian krusialnya keadilan itu, hingga sarjana Islam seperti Ali Asghar Engineer (1999) menafsirkan bahwa surat Al Maidah ayat 8 yang berbunyi “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” menunjukkan bahwa taqwa, kedudukan tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang muslim, hanya bisa diraih apabila ia mampu berbuat adil, utamanya kepada orang lain yang lebih rendah daripada dirinya.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Al-Qur’an memerintahkan penegakan keadilan dengan menggunakan tiga istilah utama: al-adl, al-qisth, dan al-mizan. Istilah al-adl mengandung makna “kesetaraan” yang mengisyaratkan adanya dua pihak atau lebih, sementara al-qisth merujuk pada “pembagian” yang adil dan wajar, serta al-mizan berarti “timbangan” yang juga melambangkan prinsip keadilan. Meskipun memiliki bentuk dan penekanan yang berbeda, namun ketiga istilah ini memiliki pesan yang sama, yakni panggilan kepada manusia untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan.

Damai dan adil ini adalah nilai-nilai yang universal dan saling terkait. Seperti yang dikatakan oleh Martin Luther King, Jr. (1958) bahwa “True peace is not merely the absence of tension; it is the presence of justice”. Kita tidak bisa mencapai kedamaian sejati tanpa sebelumnya menerapkan keadilan. Ini bukan hanya sekedar ketidak-adaan konflik, namun merupakan kondisi di mana keadilan itu terwujud dan dirasakan utamanya oleh kaum minoritas.

Sebuah keadilan distributif yang mengandung penyamarataan dan kesamaan (sawiyyat) di mata hukum dan pelayanan publik, tanpa membedakan suku, agama, ras, maupun keyakinan. Hukum dan peraturan seharusnya bukan hanya menjadi norma kekuasaan, namun menjadi perangkat yang menjamin keadilan bagi semua.

Absennya hal ini akan melahirkan apa yang disebut oleh Sosiolog Johan Galtung sebagai ”kekerasan struktural”, yaitu setiap kendala pada potensi manusia yang disebabkan oleh struktur ekonomi dan politik. Bentuknya bisa beragam, mulai dari akses yang tidak setara terhadap sumber daya, kekuasaan politik, pendidikan, perawatan kesehatan, hingga pada kedudukan di depan hukum. Kekerasan struktural ini pula yang menjadi salah satu faktor utama penyebab meningkatnya intoleransi dan menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia.

Pemeluk agama minoritas adalah salah satu korban dari kekerasan struktural ini. Mereka sering mengalami kejadian atau peristiwa intoleransi yang dilakukan oleh kelompok mayoritas. Data dari institut SETARA menunjukkan adanya peningkatan jumlah peristiwa intoleransi pada tahun 2023 dan 2024, dari 217 menjadi 260 peristiwa. Institusi yang sama juga merilis hasil survei Indeks Kota Toleran 2024 yang menempatkan 2 kota di Sulawesi Selatan, yaitu Makassar dan Parepare kedalam daftar kota intoleran karena skornya yang rendah. Bukan hanya karena adanya peristiwa intoleransi, melainkan juga karena ketiadaan fokus dan inovasi terhadap pemajuan toleransi di kota-kota tersebut.

Bagi penulis yang bermukim di salah satu kota tersebut, hasil survei ini sebenarnya tidak perlu disikapi dengan reaktif, melainkan perlu dijadikan bahan perenungan, apakah survei itu gagal menangkap fenomena nyata di lapangan, ataukah justru memang kita sebenarnya yang intoleran, hanya saja kita tidak menyadarinya? Apakah kita sebagai kaum mayoritas sudah benar-benar adil memperlakukan mereka yang minoritas?

Sebab intoleran tidak hanya tampak pada perbuatan, namun seringkali ia justru mendekam di sudut tergelap pikiran kita, yang timbul ketika kita mengutuk kezaliman yang dilakukan penganut agama lain, namun gigih mencari pembenaran jika pelakunya melakukan ritual ibadah yang sama dengan kita. Ia baru terlihat ketika kita menolak pendirian rumah ibadah kaum lain dengan dalih administratif, namun berpaling muka atas kenyataan bahwa jauh lebih banyak tempat ibadah kita yang didirikan tanpa kelengkapan perizinan.

Sebuah kota bisa saja masyarakatnya tampak baik-baik saja; tidak ada konflik terbuka, tidak ada keluhan, padahal sejatinya di dalamnya ada konflik laten. Bisa jadi kelompok marjinal didalamnya tidak mengeluh bukan karena tidak ada masalah, tetapi karena mereka sadar bahwa suara mereka hanya akan terbentur oleh tembok hegemoni mayoritas maupun halangan birokrasi.

Atau bisa jadi mereka khawatir akan kehidupan mereka karena mendapati kenyataan bahwa di tempat lain, ada orang-orang yang seperti mereka yang justru dikriminalisasi apabila berani bersuara. Maka, jika kita benar-benar ingin membangun perdamaian, maka kita harus mulai dengan menegakkan keadilan. Dimulai dari adil sejak dalam pikiran, dan diwujudkan dalam keberanian untuk menyuarakan perlawanan terhadap setiap narasi intoleransi dan ketidak-adilan yang muncul. Kita harus berani melawan dengan narasi tandingan, agar ruang-ruang publik tidak dikooptasi oleh ketidak-adilan tersebut.

Di sisi lain, negara memiliki peran penting dalam hal ini. Negara harus hadir untuk menjamin setiap warganya mendapatkan perlakuan adil. Aturan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dan kebijakan publik juga harus berpihak pada mereka yang lemah dan minoritas, bukan hanya yang kuat dan mayoritas.

Pemerintah juga harus mengadopsi paradigma progresif yang tampak bukan hanya pada ruang-ruang dialog dan diskusi, namun juga pada regulasi yang diterapkan. Bila perlu, peraturan-peraturan yang sudah usang dan tidak sesuai dengan semangat keadilan bisa diubah ataupun diganti.

Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa kedamaian sejati bukanlah sekadar ketiadaan konflik, melainkan hadirnya keadilan yang nyata dirasakan semua orang, termasuk mereka yang paling lemah dan minoritas di tengah masyarakat. Islam telah lama menekankan bahwa keadilan adalah syarat mutlak bagi terciptanya ketakwaan, dan ketakwaan sejati itu jugalah yang akan membawa manusia pada perdamaian hakiki.

Kini, tanggung jawab kita sebagai individu dan sebagai bangsa adalah memastikan bahwa setiap kebijakan, tindakan, dan pikiran kita berpihak pada prinsip keadilan ini. Sebab hanya dengan menegakkan keadilan sejak dalam pikiran, keberanian untuk melawan ketidakadilan, dan kesediaan untuk memperjuangkan suara-suara yang kerap diabaikan, kita dapat benar-benar mencapai peradaban yang damai dan selaras dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. (*)

  • Bagikan