Dr. H. Muhammad Saleh, M.Ag. Dosen IAIN Parepare, Wakil Ketua DPW BKPRMI Sulawesi Selatan, pengurus DMI Kota Parepare, Ketua Majelis Dikdasmen PDM Kota Parepare
Hari Asyura setiap tanggal 10 Muharram tidak sekadar menjadi agenda tahunan yang identik dengan ritual keagamaan, tetapi juga menjadi cerminan semangat kesalehan dan solidaritas kemanusiaan yang diwariskan sejak zaman Nabi. Puasa Asyura, yang dikenal sebagai salah satu ibadah sunnah paling utama di bulan Muharram, mengandung pesan spiritual yang sangat dalam, sekaligus menyatu dengan berbagai ekspresi budaya dan tradisi sosial di masyarakat, khususnya di Indonesia.
Dalam konteks sejarah, Asyura memiliki makna yang berlapis. Dari perspektif keislaman, tanggal 10 Muharram mengingatkan kita pada banyak peristiwa monumental yang menjadi bagian dari perjalanan spiritual umat manusia. Berdasarkan riwayat dan literatur keislaman, beberapa peristiwa besar yang diyakini bertepatan atau diperingati pada tanggal 10 Muharram antara lain:
Diselamatkannya Nabi Musa AS dan Bani Israil dari kejaran Firaun, di mana laut terbelah sebagai bentuk pertolongan Allah. Peristiwa ini yang menjadi salah satu dasar Rasulullah SAW menganjurkan puasa Asyura sebagai wujud rasa syukur.
Nabi Nuh AS diselamatkan dari banjir besar, perahunya berlabuh di Bukit Judi setelah bencana besar yang menimpa umatnya. Peristiwa ini mengandung pesan tentang keimanan, kesabaran, dan keselamatan atas pertolongan Allah.
Nabi Yunus AS dikeluarkan dari perut ikan paus, setelah beliau berdoa dengan penuh keikhlasan di dalam kegelapan perut ikan. Ini menjadi simbol tentang harapan dan ampunan Allah meski dalam kondisi yang paling sulit.
Nabi Ibrahim AS selamat dari kobaran api Raja Namrud, ketika beliau dilempar ke dalam api karena keteguhan dalam mempertahankan tauhid. Kejadian ini menjadi lambang kemenangan iman atas kesyirikan.
Taubat Nabi Adam AS diterima oleh Allah, yang menandai kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang mau bertaubat, sekaligus menjadi awal mula peradaban manusia di bumi.
Nabi Yusuf AS dibebaskan dari penjara Mesir, yang juga menjadi pertanda perubahan nasib dan kemenangan atas kezaliman serta fitnah yang ditimpakan kepadanya.
Nabi Ayub AS disembuhkan dari penyakitnya, setelah mengalami ujian panjang berupa penderitaan fisik dan mental, namun tetap sabar dan teguh dalam iman.
Nabi Isa AS diangkat ke langit, menurut beberapa riwayat, Allah menyelamatkan beliau dari kejaran dan makar kaum yang ingin menyalibnya.
Semua peristiwa besar tersebut tidak hanya menonjolkan keajaiban Ilahi, tetapi juga mengajarkan nilai fundamental tentang keteguhan iman, kesabaran, perjuangan, serta pertolongan Allah kepada hamba-Nya yang sabar, ikhlas, dan konsisten dalam kebenaran.
Dari dua dimensi sejarah tersebut, kita dapat melihat bahwa Asyura bukan sekadar soal ritual, tetapi juga simbol perlawanan terhadap penindasan, sekaligus manifestasi rasa syukur atas pertolongan Allah SWT. Oleh karena itu, puasa Asyura mengajarkan kita untuk tidak hanya meningkatkan kesalehan pribadi, tetapi juga menguatkan kepedulian sosial dan semangat kemanusiaan.
Puasa Asyura termasuk dalam kategori sunnah muakkadah, yakni amalan sunnah yang sangat dianjurkan pelaksanaannya karena keutamaannya yang besar dan teladan yang jelas dari Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Puasa Asyura itu menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim). Pernyataan ini menunjukkan betapa besar rahmat Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya melalui amalan yang tampak sederhana namun memiliki dampak luar biasa dalam membersihkan catatan amal manusia.
Keutamaan ini sejalan dengan sifat kasih sayang Allah yang selalu membuka pintu ampunan bagi siapa saja yang mau berusaha memperbaiki diri. Puasa Asyura adalah salah satu bentuk usaha tersebut. Melalui ibadah ini, seorang Muslim tidak hanya mendapatkan pahala dan penghapusan dosa kecil selama setahun ke belakang, tetapi juga diajak untuk merenungi perjalanan hidup, memperbaiki kekurangan, dan memperbarui niat dalam menjalani hari-hari ke depan.
Lebih jauh, pelaksanaan puasa Asyura bukan semata-mata rutinitas tahunan, melainkan momentum spiritual yang dapat menjadi titik balik untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan. Bulan Muharram sendiri dikenal sebagai salah satu dari empat bulan haram (al-asyhurul hurum), bulan yang dimuliakan dalam syariat Islam, di mana setiap amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya, begitu pula sebaliknya, setiap dosa lebih berat konsekuensinya. Maka, berpuasa di dalamnya, khususnya di tanggal 10 Muharram, adalah langkah konkret untuk mengisi bulan suci ini dengan amalan positif yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Tidak hanya aspek spiritual personal, puasa Asyura juga sarat dengan pesan sosial yang memperkuat empati terhadap sesama. Saat seseorang berpuasa, ia merasakan lapar dan dahaga sebagaimana dirasakan oleh mereka yang kekurangan, fakir miskin, atau orang-orang yang diuji dengan kesulitan hidup. Rasa lapar dalam puasa bukan hanya ujian kesabaran, tetapi juga alat untuk menumbuhkan empati, menggerakkan hati agar lebih peduli terhadap kondisi sosial di sekitar.
Karenanya, pelaksanaan puasa Asyura menjadi lengkap ketika diiringi dengan kepedulian sosial seperti berbagi makanan, bersedekah, membantu fakir miskin, atau bahkan sekadar menyebarkan pesan kebaikan. Dengan demikian, ibadah ini tidak berhenti pada dimensi vertikal antara hamba dan Tuhannya saja (hablun minallah), tetapi juga memperkuat dimensi horizontal antara sesama manusia (hablun minannas).
Ulama besar seperti Imam Nawawi dan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga menekankan keutamaan puasa Asyura sebagai sarana penyucian diri sekaligus refleksi spiritual. Dalam Al-Majmu' karya Imam Nawawi disebutkan bahwa puasa Asyura merupakan amalan sunnah yang paling utama di bulan Muharram setelah puasa wajib Ramadhan. Bahkan, dianjurkan untuk menambah puasa sehari sebelumnya, yakni tanggal 9 Muharram (Tasu'a), sebagai bentuk kesempurnaan ibadah dan pembeda dari kebiasaan kaum Yahudi yang hanya berpuasa di hari ke-10.
Melalui anjuran kuat ini, tampak jelas bahwa puasa Asyura bukan semata kebiasaan rutin tanpa makna, melainkan tradisi spiritual yang mengandung banyak pelajaran. Di satu sisi, ia menjadi sarana penghapus dosa dan pembersih jiwa; di sisi lain, ia menjadi momen memperdalam kepekaan sosial, mempererat persaudaraan, dan memperkuat solidaritas umat.
Oleh karena itu, momentum Asyura selayaknya tidak kita lewatkan begitu saja. Di tengah kehidupan modern yang sering melalaikan, momen seperti ini menjadi pengingat akan pentingnya refleksi diri, pembersihan hati, serta penguatan empati dan kepedulian terhadap sesama. Puasa Asyura adalah ibadah sederhana yang mampu menghadirkan dampak besar, baik secara spiritual maupun sosial, jika dijalankan dengan penuh kesadaran dan niat ikhlas karena Allah SWT.
Menariknya, di berbagai daerah di Indonesia, Asyura tidak hanya diperingati dengan puasa semata. Beragam tradisi sosial berkembang, menunjukkan kentalnya nilai solidaritas yang terkandung dalam peringatan ini. Tradisi seperti memasak bubur Asyura di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan, hingga Sulawesi, menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Muslim di Nusantara. Di balik sajian kuliner tersebut, terkandung makna gotong royong, kebersamaan, dan kepedulian terhadap sesama, terutama kepada fakir miskin, anak yatim, dan kaum dhuafa.
Tradisi memasak bubur Asyura misalnya, bukan hanya peristiwa kuliner biasa. Di balik itu, tersimpan filosofi mendalam. Beragam bahan makanan yang berasal dari berbagai unsur—padi-padian, sayuran, hingga daging—diolah menjadi satu, melambangkan persatuan, toleransi, dan kebersamaan masyarakat. Setiap orang, tanpa memandang status sosial, suku, atau latar belakang, dapat terlibat dalam kegiatan ini. Itulah bentuk nyata solidaritas sosial yang diwariskan lewat tradisi Asyura.
Di Sulawesi Selatan, khususnya di kalangan masyarakat Bugis dan Makassar, peringatan Asyura juga diwarnai dengan tradisi khas yang menunjukkan antusiasme masyarakat menyambut 10 Muharram. Salah satunya adalah kebiasaan membeli perlengkapan dapur secara besar-besaran, yang dikenal sebagai bagian dari persiapan "Malam Asyura" atau "Hari Asyura". Tidak heran jika setiap tanggal 10 Muharram, suasana pasar-pasar tradisional di Sulawesi Selatan, seperti di Pasar Terong (Makassar) atau pasar-pasar di daerah pesisir dan pedalaman Bugis, tampak lebih ramai dari biasanya.
Warga berbondong-bondong memenuhi pasar untuk membeli kebutuhan memasak, mulai dari beras, sayuran, daging ayam atau sapi, rempah-rempah, hingga peralatan dapur baru seperti panci, wajan, sendok, dan lainnya. Tradisi ini bukan sekadar rutinitas ekonomi, tetapi memiliki makna simbolik. Membeli perlengkapan dapur dan bahan makanan dianggap sebagai bentuk persiapan menyambut berkah Muharram sekaligus memperkuat semangat berbagi dan kebersamaan.
Tradisi keramaian pasar menjelang dan saat 10 Muharram di Sulawesi Selatan juga mencerminkan semangat kolektivitas masyarakat yang kuat. Di tengah era modernisasi, praktik seperti ini menjadi bukti bahwa kearifan lokal dan nilai-nilai tradisional yang berlandaskan ajaran Islam tetap terjaga. Asyura bukan hanya momen untuk meningkatkan kesalehan pribadi melalui puasa, tetapi juga momentum untuk membangun solidaritas sosial, menghidupkan tradisi, dan memperkuat ikatan kemasyarakatan.
Selain itu, beberapa komunitas juga memanfaatkan momentum Asyura untuk menggalang aksi sosial, seperti santunan anak yatim, pemberian makanan gratis, hingga kegiatan dakwah yang mengedukasi tentang pentingnya meneladani nilai-nilai Rasulullah saw. Konteks ini menjadi sangat relevan di tengah kondisi masyarakat modern yang kerap dihantui oleh krisis moral, ketimpangan sosial, dan pudarnya rasa solidaritas.
Tradisi Asyura mengingatkan kita bahwa spiritualitas bukan hanya soal hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga soal kepedulian horizontal terhadap sesama manusia. Puasa Asyura adalah ibadah personal yang memiliki dampak sosial, karena kesalehan yang sejati adalah yang menghadirkan manfaat nyata bagi lingkungan sekitar.
Dalam era digital dan globalisasi saat ini, tantangan untuk merawat tradisi kemanusiaan Asyura semakin besar. Budaya instan, individualisme, hingga krisis identitas keagamaan seringkali menjauhkan masyarakat dari makna substantif peringatan Asyura. Banyak yang hanya memaknainya sebagai seremoni tanpa refleksi, atau bahkan mengabaikannya karena dianggap tidak relevan dengan dinamika kehidupan modern. Padahal, nilai-nilai Asyura justru sangat kontekstual untuk menjawab krisis kemanusiaan masa kini, mulai dari isu ketidakadilan, kemiskinan, hingga konflik sosial.
Sebagai umat Islam yang hidup di Indonesia, negara dengan kekayaan budaya dan pluralitas sosial, kita sepatutnya menjaga agar tradisi Asyura tetap menjadi ruang edukasi spiritual sekaligus mempererat solidaritas sosial.
Tidak hanya dengan berpuasa secara pribadi, tetapi juga menghidupkan tradisi positif yang menumbuhkan rasa kebersamaan, kepedulian, dan perjuangan melawan ketidakadilan.
Di sinilah pentingnya peran para tokoh agama, akademisi, dan masyarakat sipil untuk terus mensosialisasikan makna puasa Asyura secara utuh—tidak hanya sebagai ibadah sunnah, tetapi juga sebagai instrumen pembentukan karakter dan solidaritas sosial.
Momentum Asyura bisa dijadikan ajang kampanye nilai-nilai kemanusiaan, baik melalui pengajian, diskusi publik, aksi sosial, hingga kegiatan budaya yang relevan dengan semangat zaman.
Lebih jauh, penguatan tradisi Asyura dalam dimensi kemanusiaan juga dapat menjadi bagian dari dakwah kultural yang ramah, toleran, dan inklusif. Tradisi seperti bubur Asyura, santunan sosial, atau doa bersama bukan hanya milik satu kelompok, melainkan dapat menjadi perekat sosial lintas suku, budaya, bahkan agama. Ini sesuai dengan semangat Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin), yang mengajarkan umatnya untuk menghadirkan kebaikan, perdamaian, dan keadilan bagi seluruh umat manusia.
Peneguhan tradisi kemanusiaan dalam peringatan Asyura juga sejalan dengan cita-cita pembangunan karakter bangsa. Indonesia yang majemuk membutuhkan lebih banyak ruang untuk mempererat solidaritas sosial dan membangun kohesi antarwarga. Tradisi Asyura yang mengajarkan gotong royong, kepedulian, dan perjuangan melawan kezaliman menjadi salah satu media yang efektif untuk membumikan nilai-nilai tersebut di tengah masyarakat.
Kesimpulannya, Hari Asyura yang di dalamnya ada anjuran puasa asyura bukan sekadar amalan rutin tahunan, melainkan bagian integral dari tradisi keislaman yang sarat makna spiritual dan sosial.
Tradisi-tradisi lokal yang berkembang di berbagai daerah menjadi bukti bahwa Asyura mampu hidup dinamis, beradaptasi dengan budaya setempat, tanpa kehilangan esensi ajaran Islam. Oleh karena itu, sudah saatnya kita merawat dan mengembangkan tradisi Asyura, bukan hanya sebagai simbol religiusitas, tetapi juga sebagai warisan kemanusiaan yang menumbuhkan kesalehan, solidaritas, dan perjuangan melawan ketidakadilan.
Dengan demikian, Asyura tidak hanya kita kenang sebagai bagian dari sejarah, tetapi kita hidupkan dalam aksi nyata membangun masyarakat yang lebih peduli, adil, dan berkeadaban. Inilah warisan besar Asyura yang harus terus kita jaga, kita wariskan, dan kita aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga ada manfaat
Billahi fi sabilil haq. (*)