OPINI: Ketika ‘Bendera Jolly Roger’ Ditakuti dan Dikatakan Simbol Provakator

  • Bagikan

Oleh: Muh Fahrul Ananta
Mahasiswa IAIN Parepare

Selamat datang di republik absurd di mana bendera anime bisa dianggap makar, tapi bendera korupsi tak pernah diturunkan. Negeri ini terlalu cepat panas oleh simbol, tapi terlalu dingin terhadap penderitaan rakyatnya.

Ketika anak muda mengibarkan 'bendera Jolly Roger', bukan karena mereka ingin menjatuhkan negara, tapi karena mereka sudah muak melihat negara ini dijatuhkan dari dalam oleh tikus berdasi yang rutin menyanyikan lagu kebangsaan sambil menjarah anggaran.

Tiba-tiba para pejabat jadi nasionalis sejati hanya karena ada bendera One Piece berkibar. Mereka panik, mereka marah, mereka teriak “provokasi!” padahal selama ini rakyat sudah lama diprovokasi oleh janji palsu, kebijakan timpang, dan hukum yang berpihak hanya pada pemilik kekuasaan.

Ketika Jolly Roger bendera bajak laut dari serial One Piece berkibar di tanah air, negara gempar. Dituding sebagai upaya memecah belah bangsa. Dicap sebagai simbol makar. Dituduh mencederai kemerdekaan.

Tapi mari kita tanya balik:
Apakah benar kain bergambar tengkorak itulah yang merusak negeri ini?
Atau justru mereka yang memonopoli Merah Putih, tapi membajak isinya demi kepentingan segelintir elite?

Simbol Bajak Laut, Seruan dari Generasi yang Frustrasi
Mereka yang mengibarkan bendera One Piece bukan tidak cinta Merah Putih. Justru karena cinta, mereka marah. Mereka kecewa. Mereka muak melihat Merah Putih dijadikan ornamen belaka, sementara keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan yang terkandung di dalamnya diobral murah atau bahkan dihapus dari kenyataan.

One Piece bukan sekadar anime. Ini kisah perlawanan terhadap "Pemerintah Dunia" sebuah sistem global dalam cerita yang korup, manipulatif, menindas rakyat, dan menutupi kebenaran demi kelanggengan kekuasaan. Luffy dan krunya, para bajak laut, bukan penjarah. Mereka pemberontak terhadap ketidakadilan. Mereka simbol dari harapan, kebebasan, dan keberanian menghadapi penindasan.

Apakah itu terdengar asing? Tidak. Justru sangat akrab dalam konteks Indonesia hari ini.
Ketika Simbol Fiksi Lebih Relevan dari Simbol Resmi

Ironisnya, di tengah keterpurukan ekonomi, kemacetan hukum, dan inflasi moral di parlemen, para penguasa malah sibuk mencurigai kain bergambar tengkorak. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad bahkan mengatakan: "Harus melawan hal-hal seperti itu. Mari bersatu, lawan."

Lawan siapa, Pak?
Lawan rakyat sendiri yang sudah lelah ditipu?
Lawan generasi muda yang tak diberi ruang untuk bicara, lalu dimarahi saat bersuara dengan simbol?

Ketika simbol bajak laut terasa lebih jujur daripada simbol negara, itu bukan karena rakyat tak nasionalis. Tapi karena simbol negara terlalu sering dibajak oleh mereka yang mengklaim membelanya, padahal sedang menjualnya secara diam-diam.

Kebebasan Berekspresi: Dilindungi oleh Konstitusi
Pemasangan bendera One Piece tidak melanggar hukum, selama tidak merendahkan atau menggantikan posisi bendera negara secara formal. Ini ditegaskan dalam:
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang menyatakan: “Bendera Negara wajib dikibarkan pada waktu peringatan hari kemerdekaan dan dalam peristiwa tertentu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Dalam Pasal 57 huruf c, dijelaskan bahwa seseorang dilarang “menggunakan bendera negara untuk reklame atau iklan komersial”, bukan melarang penggunaan bendera non-negara dalam konteks ekspresi atau budaya populer.

Sementara itu, Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Mengibarkan simbol budaya populer seperti Jolly Roger, selama tidak merendahkan lambang negara atau menimbulkan kekerasan, adalah bentuk sah dari ekspresi pendapat.

Jolly Roger Adalah Satire, Bukan Subversi Di era digital, ekspresi tidak lagi hanya dalam bentuk orasi atau pamflet. Meme, simbol anime, musik, hingga grafiti adalah media kritik. Dan Jolly Roger, hari ini, adalah bentuk satire yang menyuarakan keresahan.

Mereka tidak membakar bendera negara. Tidak mengganti Merah Putih. Tidak meneriakkan makar. Mereka hanya mengangkat simbol fiksi yang justru lebih jujur menggambarkan kondisi negeri ini: bahwa kekuasaan bisa sangat menindas ketika tanpa kontrol.

Simbol Takkan Menghancurkan Negara, Tapi Ketidakadilan Bisa
Jika negara bisa begitu cepat merespons sebuah simbol fiksi, tapi lambat dalam menindak pelaku korupsi, maka kita bukan sedang menjaga nasionalisme—kita sedang menutupi kebusukan dengan patriotisme palsu.

Apakah yang merusak negeri ini adalah tengkorak kain itu?
Atau justru mereka yang mengenakan pin Garuda, tapi membunuh nilai-nilai Pancasila dari balik meja kekuasaan?

Lihat Dulu yang Membusuk, Bukan Hanya Tengkoraknya Jadi sebelum Anda marah pada bendera bajak laut fiksi, tanyakan dulu, Kenapa bendera itu bisa terasa lebih menggugah daripada pidato 17 Agustus?Kenapa rakyat mulai bicara lewat satire, bukan lewat kotak suara?Yang menodai kemerdekaan bukan anak muda yang mengibarkan Jolly Roger.

Tapi mereka yang memonopoli nasionalisme dan memperjualbelikannya demi kekuasaan. Karena sejatinya, simbol fiksi tak akan mengancam negara yang adil. Tapi ia akan sangat mengganggu bagi mereka yang tak nyaman melihat rakyat mulai kritis, sadar, dan tak bisa lagi dibungkam. (*)

  • Bagikan