Seni Berkebutuhan Sekolah

  • Bagikan

Sekolah merupakan realitas sosial, sekolah diadakan secara terprogram dan sengaja; semua kebijakan serta praktik-praktik di dalam sekolah diarahkan untuk mewujudkan tujuan tertentu. Sekolah sendiri sudah ada ketika manusia mengenal peradaban, sejak manusia merasakan perlu untuk meneruskan tradisi, nilai-nilai, keterampilan dan pengetahuannya kepada generasi pelanjut mereka.

Oleh: Prusdianto
(Mahasiswa S3 Program Studi Pendidikan Seni, Universitas Negeri Semarang)

Pada awalnya, keluargalah yang berperan penting pada proses pendidikan. Namun, lambat laun jumlah manusia semakin bertambah, terus menerus hingga membentuk masyarakat. Agar lebih efisien dan efektif, maka dibentuklah kelompok manusia yang lebih dewasa untuk meneruskan informasi-informasi penting kepada anak-anak mereka yang jumlahnya lebih banyak. Anak-anak yang dinamakan siswa ini, mempelajari dan mendapatkan pengetahuan serta keterampilan secara bersama-sama. Inilah konsep paling awal dari sekolah.

Sebagai sebuah lembaga, sekolah diberi kewenangan dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran, juga sekaligus sekolah mempunyai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, seperti; memiliki kurikulum yang jelas, memberlakukan syarat tertentu bagi siswa, materi pembelajaran yang digunakan bersifat akademis, proses pendidikannya cukup lama, tenaga pengajar harus memenuhi klasifikasi tertentu, serta adanya pemberlakukan administrasi yang seragam, kredensials (Ijazah, dan sebagainya) memegang peranan penting terutama bagi penerimaan siswa pada tingkatan pendidikan yang lebih tinggi.

Salah satu materi pembelajaran akademis di sekolah adalah seni. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat 1, dijelaskan bahwa mata pelajaran Kesenian yang selanjutnya disebut dengan nama “Seni Budaya” dimasukkan dalam kelompok mata pelajaran estetika. Seni diajarkan pada lembaga sekolah karena keunikannya, kebermaknaan serta kebermanfaatannya terhadap kebutuhan dari peserta didik.  Pengalaman estetik yang dimiliki oleh peserta didik dijabarkan dalam bentuk kegiatan berapresiasi, berkreasi serta berekspresi dengan pendekatan “belajar dengan seni”, “belajar melalui seni”, dan “belajar tentang seni”. Hal tersebut tidak dimiliki oleh mata pelajaran lainnya.
 
Permasalahan Seni di Sekolah

Namun, di dalam pelaksanaannya, penyesuaian seni terhadap kebutuhan sekolah, beberapa hal dianggap tidak sesuai dengan karakter seni. Seperti misalnya, jam pelajaran seni jika dialokasikan selama 3 tahun, maka jam pelajarannya berjumlah 128 jam, jumlah ini masih dianggap jauh dari ideal untuk mengajarkan ataupun menciptakan karya seni di sekolah. Fasilitas yang tidak dimiliki oleh sekolah dianggap tidak dapat mendukung pembelajaran seni. Siswa dianggap kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran seni yang tidak sesuai dengan minatnya, misalnya seni tari, siswa laki-laki banyak yang tidak berminat mengikutinya.

Kendala terakhir yang dialami oleh sebagian besar sekolah di Indonesia terkait pembelajaran seni adalah guru yang mengajar seni di sekolah bukanlah sarjana yang berasal dari LPTK Pendidikan Seni sebagaimana syarat dari guru mata pelajaran seni budaya.

Masalah-masalah yang telah dipaparkan di atas berkaitan dengan seni dan sekolah sebagai sebuah peristiwa pendidikan, akan terus menerus terjadi dan tidak akan terselesaikan dengan cepat, bilamana cara pandang seni dijadikan sebagai objek dengan sekolah adalah subjeknya. Seni dipandang sebagai sesuatu yang paten, eksklusif, susah untuk diubah serta memerlukan syarat-syarat tertentu dalam proses pengajaran ataupun proses penciptaannya di sekolah. Sementara sekolah diharuskan fleksibel untuk memenuhi syarat yang seni berikan. Cara pandang ini perlu diubah, sebagai konsekuensi masuknya seni sebagai bagian dari sekolah.

Sekolah bukanlah subjek, melainkan objek yang lebih luas dari seni. Konsep sekolah sebagai institusi yang memandang tidak hanya sistem gagasan, tetapi juga organisasi sosial di mana sistem ini dikembangkan dan distabilkan. Sifat seni yang fleksibel seharusnya mudah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Sehingga anggapan akan keterbatasan waktu, fasilitas, minat siswa maupun kompetensi guru seni di sekolah tidak akan menjadi masalah lagi, selama seni dapat memenuhi kebutuhan sekolah sebagai sebuah lembaga formal. Melalui tulisan ini dilakukan penelusuran untuk menghubungkan kebutuhan sekolah yang seharusnya dipenuhi oleh seni sebagai media pendidikan. Beberapa pertanyaan yang akan dieksplor yaitu: bagaimana perkembangan sekolah dengan seni sebagai bagian sub sistemnya? bagaimana seni memenuhi kebutuhan sekolah sebagai sebuah lembaga?
 
Sejarah Sekolah di Indonesia

Sejarah dalam pendidikan yang menyelenggarakan sistem pembelajaran dengan perwujudan lembaga yang disebut sekolah, tercatat pada awal abad ke-16, ditandai oleh datangnya Portugis di Indonesia. Pendirian sekolah oleh bangsa Portugis saat itu tidak lepas dari tujuan utama Portugis datang ke Indonesia, yang dikenal dengan tiga istilah, yaitu gold, glory, dan gospel. Dari ketiga tujuan bangsa-bangsa Eropa datang ke Indonesia di atas, misi gospel adalah yang paling utama dan paling mulia.

Pendidikan dan pengajaran dianggap sebagai sarana yang paling efektif dan efisien untuk menyebarkan misi keagamaan, sehingga disusunlah secara cermat mengenai perencanaan proses, isi dan tujuan serta beberapa pihak yang ikut di dalam pelaksanaan pendidikan agama. Perluasan agama nasrani dilakukan dengan mendirikan beberapa sekolah, dengan fokus pembangunan pada daerah yang beragama non-Kristen.

Sekolah-sekolah yang didirikan oleh bangsa Protugis sebagai bangsa Eropa pertama yang masuk ke Indonesia adalah bertujuan untuk memperbanyak pemeluk agama katolik Roma. Selanjutnya penyelenggaraan pendidikan dan sekolah-sekolah yang didirikan Portugis kemudian diambil alih pengurusannya oleh pemerintahan Belanda di Indonesia seiring keberhasilan memukul mundur bangsa Portugis. Saat itu, sekolah-sekolah yang peruntukkannya bagi penyebaran agama katolik berubah menjadi sarana penyebaran agama Kristen Protestan. Meskipun sekolah-sekolah diawal kekuasaan Belanda masih berfokus terhadap pengajaran agama, isi dan penyelenggaraan pengajaran disesuaikan dengan tujuan VOC yaitu menguasai perdagangan. Contohnya adalah perluasan agama Kristen Protestan pada sekolah dipergunakan sebagai media dalam meningkatkan sekaligus membina keyakinan masyarakat pribumi terhadap Belanda.

Sekolah-sekolah pada masa kolonial Belanda hanya dapat diikuti oleh kelompok tertentu. Kelompok yang dapat menjadi murid di sekolah-sekolah Belanda hanya kelompok orang Eropa dan keluarga bangsawan. Hal tersebut karena sekolah didirikan untuk menunjang kepentingan politik Belanda. Tepatnya di tahun 1607 mulailah dibuat sekolah dengan tujuan melahirkan beberapa guru lnjil (schoo/-meesters) yang diambil dari masyarakat pribumi. Akhir abad ke-17, jumlah sekolah dan jumlah murid meningkat dari 18 sekolah dengan 800 sekolah (di tahun 1628) menjadi 54 sekolah dengan 4. 700 sekolah.

Pada tahun 1630, penggunaan bahasa Belanda di sekolah tidak menjadi bahasa tunggal lagi, karena bahasa Melayu klasik dimasukkan sebagai bahasa pengantar di periode ini. Proses belajar-mengajar yang berlaku sangat sederhana berpusat pada pembelajaran agama; yaitu bernyanyi, pelajaran menulis dan membaca yang senantiasa dikaitkan dengan isi keagamaan. Sebahagian besar siswa sudah selesai dalam pelajarannya, berkaitan dengan catechismus serta bisa menulis dan membaca seperlunya. Setelah berlaku politik Etis di tahun 1901, semakin banyak sekolah yang didirikan di Indonesia. Namun, meskipun politik etis yang dicetuskan Van Deventer dimaksudkan untuk pemberian keadilan kepada bangsa Indonesia yang telah berjasa dalam menstabilkan ekonomi Belanda, pelaksanaan politik etis masih berkaitan dengan kepentingan bangsa penjajah semata.

Tujuan Politik Etis sebagai pendidikan yaitu agar menghasilkan tenaga kerja yang murah sekaligus terdidik yang nanti akan bekerja di perkebunan Belanda ataupun menjadi pegawai kantor. Jalan masyarakat pribumi terhadap pendidikan yang modern pada masa itu masih sangat terbatas. Materi pelajaran yang diajarkan kepada warga pribumi juga masih sebatas keterampilan baca tulis. Sekolah berbasis desa didirikan untuk pertama kalinya di Jawa pada tahun 1907. Tujuan dididirikannya sekolah ini karena pada saat itu, pemerintah tidak mampu lagi untuk membiayai sekolah yang dikhususkan untuk pribumi. Sehingga sistem yang ada pada sekolah desa yang disebut volkschool adalah dengan model pembiayaan mandiri yang dibayarkan masyarakat setempat dengan batas waktu selama 3 tahun. Pelajaran yang diajarkan adalah berhitung, membaca dan menulis.

Siswa yang terpilih mendapatkan kesempatan untuk lanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi yaitu vervolgschool dengan waktu belajar selama 2 tahun. Siswa dari vervolgschool kembali mendapatkan kesempatan untuk menambahkan pelajarannya. Beberapa siswa yang dipilih diberikan peluang untuk ikut tes ujian yang menyeleksi untuk masuk ke sekolah guru di sekolah desa, sekolah yang normal ataupun sekolah untuk pertukangan. Akhir dari rangkaian sekolah ini adalah schakel yang masih bersifat Belanda di tahun 1924. Umumnya pelaksanaan pendidikan diberi tanda dengan didirikannya sekolah bagi masyarakat pribumi yang merupakan kelanjutan sekaligus respon terhadap praktek pendidikan sudah dilaksanakan sebelumnya. Munculnya ide kebaharuan kemudian memunculkan alasan akan pentingnya sebuah pendidikan, akhirnya kolonial kemudian memberikan izin untuk menyelenggarakan sekolah setelahnya.
 
Kurikulum Seni di Sekolah
 
Seni sebagai mata pelajaran yang merupakan bagian dari sub sistem sekolah diatur oleh kurikulum sebagai landasan dasarnya. Kurikulum mencakup semua pengalaman siswa yang termasuk dalam program yang telah dirancang untuk membantunya dalam perkembangan, emosional, sosial, spiritual dan moral. Kurikulum di sekolah dibutuhkan dalam menyelenggarakan pembelajaran pada tiap mata pelajaran agar dapat terwujud sesuai dengan tujuan yang berdampak langsung kepada siswa dan lebih luas lagi berdampak kepada pendidikan itu sendiri.

Seni senantiasa ada dalam kruikulum di sekolah, karena sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hajat manusia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Print  yaitu penyusunan kurikulum selayaknya memasukkan 5 kebutuhan manusia (human needs), yaitu “need for self-actualization, needs for meaning, social needs, aesthetic needs, dan survival needs”. Pernyataan dari Print menegaskan bahwa aesthetic needs atau kebutuhan estetika adalah bagian penting dari kurikulum sekolah yang harus diselenggarakan.

Sebagaimana kurikulum sering mengalami perkembangan dan perubahan, begitupun juga dengan seni sebagai mata pelajaran berubah menyesuaikan dengan arah perubahan kurikulum. Kurikulum seni sebelum kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1930-1945 berorientasi vokasional yang mengutamakan keahlian menggambar yang sesuai dengan industri. Periode berikutnya, yaitu pada masa revolusi fisik dimana daerah-daerah di Indonesia sementara berjuang dalam perang pada masa awal kemerdekaan yaitu tahun 1945-1948. Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk mempertegas kemerdekaan di masa ini, berimbas sampai ke dalam sekolah.

Sehingga corak pembelajaran seni yang ada bermuatan perlawanan ataupun propaganda untuk mengusir penjajah. Misalnya pelajaran menggambar dengan materi menggambar poster-poster perjuangan kemerdekaan. Pengaruh Belanda pada kurikulum seni di sekolah sangatlah berpengaruh. Hal ini dibuktikan dengan pola kurikulum seni setelah kemerdekaan yang masih mengikuti pola kurikulum seni di Belanda. Hal lain yang ikut merubah pandangan seni, khususnya di sekolah setelah zaman kemerdekaan adalah mulainya dikirim beberapa sarjana ke luar negeri. Hasilnya pengaruh pakar pendidikan seni di periode ini cukup berpengaruh dengan digunakannya referensi buku seperti “Education Through Art” dari Herbert Read, “Creative and Mental Growth” karya Victor Lowenfeld, serta “Art as Experience” karya John Dewey. Isi buku ini serta merta mulai mengubah arah pandang seni di sekolah di Indonesia yang awalnya berorientasi keterampilan, berkembang menjadi pengembangan potensi siswa secara utuh.

Tepat di tahun 1975, kurikulum seni di sekolah mengalami pengembangan mata pelajaran. Jika awalnya mata pelajaran “ekspresi” penyebutan untuk mata pelajaran seni saat itu berubah menjadi “pendidikan kesenian”. Istilah mata pelajaran pada kurikulum 1975 juga berubah menjadi “bidang studi”, sehingga lebih lengkapnya pembelajaran seni di sekolah berubah menjadi “bidang studi pendidikan kesenian”. Bidang studi kesenian ini berisikan 4 bidang seni yang diajarkan, jika di awal kurikulum ada pelajaran menggambar dan seni suara, kemudian ditambahkan lagi dengan bidang seni lain, yaitu seni tari dan seni teater. Pelajaran seni suara berubah menjadi seni musik dan menggambar berubah menjadi seni rupa. Lebih lengkapnya bidang studi pendidikan kesenian pada kurikulum 1975 mengajarkan seni musik, seni rupa, seni tari dan seni teater.

Tahun 1984, kurikulum kembali disempurnakan menjadi kurikulum 1984 yang ditandai dengan perubahan nama dari pendidikan kesenian menjadi pendidikan seni. Perubahan yang berarti pada kurikulum 1984 adalah tentang alokasi waktu yang justru dipersingkat dengan adanya pembatasan pengajaran di kelas-kelas tertentu saja. Seni dalam pendidikan untuk menyiapkan tenaga yang terampil dihilangkan. Perubahan selanjutnya adalah kurikulum 1994 yang untuk pertama kalinya diberlakukan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional sebagai dasar dalam menyusun kurikulum sekolah. Pembelajaran seni di sekolah pun kembali berubah nama di kurikulum ini dengan penamaan “Kerajinan Tangan dan Kesenian” (KTK). Pada pengembangannya, muatan kedaerahan dimasukkan pada bidang studi KTK dengan tujuan adanya penggalian potensi kesenian daerah (kerajinan) yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia.

Sepuluh tahun berikutnya di tahun 2004 kembali terjadi perubahan kurikulum yang dinamai “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK) yang melahirkan istilah Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar dan Indikatornya (KD-I). Pembelajaran seni pada kurikulum ini kembali menegaskan akan keterampilan seni siswa sekaligus penguasan materi seninya. Dua tahun kemudian di tahun 2006 kembali terjadi perubahan kurikulum dengan penamaan “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP). Indikator yang merupakan produk dari KBK, tidak ditemukan lagi di KTSP. Perbedaan lainnya di KTSP adalah lahirnya “Badan Standarisasi Nasional Pendidikan” (BSNP) merupakan lembaga independent yang mandiri dan profesional dalam mengembangkan, mengawasi sekaligus mengevaluasi pelaksanaan standar nasional pendidikan. Nama untuk pembejaran seni kembali berubah dari KTK menjadi “Seni Budaya” dari tingkat SD sampai SMA lewat Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Kurikulum 2006 dijelaskan bahwa “mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya”.

Kurikulum berikutnya adalah kurikulum 2013 (K-13) yang disahkan melalui Permendikbud No. 81A tahun 2013, disempurnakan dengan Permendikbud Nomor 104 Tahun 2014, dan terakhir diatur dalam Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015. Pengembangan kurikulum KTSP menjadi K-13 adalah tetap dipertahankannya tujuan berbasis kompetensi namun ditambahkan pendidikan karakter di dalamnya. Perubahan yang lain adalah KD digantikan dengan Komptensi Inti (KI), berikutnya, mata pelajaran di KTSP dirancang secara mandiri beserta KD-nya. Sementara K-13, saintifik adalah pendekatan yang digunakan pada setiap pembelajaran untuk meningkatkan kreatifitas siswa. Melalui pendekata saintifik siswa mengamati, bertanya, mencoba, menalar, mencipta dan mengkomunikasikan. Untuk pembeajaran seni di sekolah pada K-13 tidak mengalami perubahan nama dengan tetap mempertahakan nama mata pelajaran seni budaya. Bidang seni yang diajarkan juga tidak ada perubahan jumlah dan nama. Bidang seni musik, seni rupa, seni tari dan seni teater mempunyai keunikan sendiri sesuai dengan kajian keilmuan pada masing-masing ilmu. Pada K-13, aktifitas kesenian diharuskan mengaplikasikan keunikan tersebut yang terjabarkan dalam memberikan pengalaman pengembangan konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Khusus di Sekolah Menengah Atas, K-13 mewajibkan guru untuk memilih minimal 2 dari 4 aspek seni (rupa, musik, tari dan teater) untuk diajarkan yang diatur berdasarkan Permendikbud no 59 tahun 2014 tentang kurikulum 2013.

Kurikulum terakhir yang sementara disosialisasikan untuk diterapkan adalah “Kurikulum Sekolah Penggerak” yang merupakan bagian dari program Merdeka Belajar yang diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim pada 1 Februari 2021. Program ini dimulai pada tahun ajaran 2021/2022 di 2.500 sekolah yang tersebar di 34 provinsi dan 111 kabupaten/kota. Pemberlakukan kurikulum ini ditandai dengan penghapusan BSNP sebagai lembaga mandiri yang mengawasi pelaksanaan standar nasional pendidikan. Untuk seni sendiri belum ada perubahan yang signifikan yang terjadi, termasuk masih menggunakan nama mata pelajaran seni budaya untuk pelajaran di sekolah.

Seni yang diharapkan di Sekolah         
      
Setelah membahas sekolah dan kurikulum seni, kemudian akan timbul pertanyaan, “seni seperti apa yang diharapkan oleh sekolah?”. Jawabannya, secara pasti, seni yang dibutuhkan oleh sekolah adalah yang berbasis kebutuhan sekolah, pembelajaran seni yang disesuaikan dengan kurikulum. Pendapat ini sekilas menjadi sangat pragmatis dan jika dibaca oleh pakar pendidikan seni, mereka akan menolaknya, bahkan sebagian besar akan mencibir dengan rangkaian teori-teori panjang tentang fungsi pendidikan seni, seni dalam pendidikan ataukah pendidikan untuk seni.
      
Namun, begitulah kenyataannya. Seni sudah menjadi bagian dalam sub sistem sekolah. Bukan hanya seni, tetapi begitu juga dengan mata pelajaran lainnya. Kurikulum selalu direncanakan untuk efektif, mencerminkan filosofi, tujuan, sasaran, pengalaman belajar, sumber daya instruksional, dan penilaian yang terdiri dari program pendidikan tertentu. Kedudukan mata pelajaran sendiri, termasuk seni adalah sebagai subjek spesifik yang menjadi alat untuk membantu dalam pengembangan strategi agar kurikulum berhasil efektif.‎ Jadi, tujuan utama seni di sekolah adalah menyukseskan kurikulum yang dirancang untuk digunakan di sekolah.
     
Ketidakpercayaan kepada sekolah ditandai dengan keberpihakan hanya pada basik keilmuan yang dimiliki oleh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Mengacu kepada teori modal fisik dari James Coleman dan Thomas Hoffer  tentang konsep investasi dan tingkat pengembalian yang diharapkan, bahwa keputusan pendidikan dibuat berdasarkan tingkat pengembalian yang diharapkan dengan sekolah merupakan lembaga pusat untuk penciptaan sumber daya manusia. Implikasinya adalah bahwa tujuan sekolah menjadi sangat sulit untuk dicapai, jika pada proses pembelajaran cenderung bertujuan kepada kepentingan ilmu itu sendiri tanpa melihat ke kebutuhan sekolah. Seperti misalnya anggapan tentang seni yang terlalu eksklusif untuk diajarkan karena membutuhkan fasilitas dengan durasi waktu yang panjang untuk diajarkan.  
      
Banyak yang mendapatkan kendala dalam pelaksanaan pembelajaran seni di sekolah, seperti keterbatasan fasilitas, durasi mengajar yang singkat ataupun kompetensi guru yang tidak sesuai dengan bidang seni. Mereka beralasan bahwa faktor utama kendala tersebut adalah karena sekolah dan kurikulum yang tidak berpihak kepada seni. Lalu dengan ulasan panjang mengkritik sekolah dengan perangkat kurikulumnya yang kaku. Hal tersebut benar, jika posisinya sekolah menjadi bagian dari seni. Namun, sekali lagi kenyataannya, seni adalah bagian kecil dari sekolah. Mengubah kurikulum membutuhkan waktu yang relatif panjang, dengan asumusi keterlibatan pakar pendidikan seni yang tepat berada di sana untuk merumuskan kurikulum bagi seni di sekolah yang sifatnya tidak tetap dan akan akan terus berubah.
      
Hal yang semestinya dilakukan adalah menyesuaikan seni dengan kebutuhan dari sekolah yang ditegaskan dalam kurikulum. Kita tidak akan menunggu fasilitas untuk bagus agar seni sukses untuk diajarkan, menunggu ketersediaan guru-guru bidang seni agar ada yang mengajar sesuai dengan bidang keseniannya, ataukah durasi pengajaran seni yang menjadi sejajar dan sama banyak dengan durasi pelajaran IPA dan Matematika agar bisa menggelar pertunjukan ataupun pameran seni. Seni sebagai pembelajaran terpadu (integrated subject) memiliki sifat yang fleksibel karena materi belajarnya dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada. Fleksibilitas yang dimiliki oleh seni sebagai pembelajaran ini, dapat digunakan untuk mengolah materi sesuai dengan kondisi kesiapan, kemampuan siswa maupun fasilitas. Sehingga apapun kondisi yang diinginkan oleh sekolah, seni seharusnya bisa menyesuaikannya.
      
Hal yang pasti pada seni di sekolah adalah pembelajaran. Kurikulum bisa berubah namun konsep seni sebagai pembelajaran tidak akan pernah berubah di sekolah. Sebaliknya pembelajaran pada mata pelajaran, termasuk mata pelajaran seni adalah alat yang membantu unutk mewujudkan tujuan kurikulum. Salah satu hal yang bisa dilakukan pada pembelaajran seni adalah merancang rencana pelajaran dan memastikan pengajaran dan pembelajaran yang efektif, misalnya dengan mengikuti teori konstruktivisme, sembilan peristiwa pembelajaran gagne dan penilain formatif yang dikolaborasikan menjadi teori dalam merancang pembelajaran seni. Ketiga teori ini saling terkait dan terletak di jantung pendidikan dalam mata pelajaran apa pun dan membantu merancang rencana pelajaran. Tiga teori ini bekerja sebagai katalis untuk membuat rencana pelajaran yang efektif.(*)

BIODATA

Prusdianto yang lahir di Desa Kupa, Sulawesi Selatan pada tanggal 18 Maret 1987 cukup beruntung karena masa kecilnya sama sekali tidak diracuni oleh gadget. Kedua orang tuanya sepakat dengan anjuran pemerintah akan usia ideal anak untuk bersekolah, terbukti Prusdianto dimasukkan pada jenjang SD di umur 7 tahun. Menyelesaikan serangkaian pendidikan dasar dari SD - SMA tanpa pernah merasakan pahitnya tinggal kelas selama 12 tahun. Tepat di tahun 2005, usia yang tepat menjadi mahasiswa, Prusdianto melanjutkan pendidikannya di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Makassar (UNM) dan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) di tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa, Prusdianto mulai bersentuhan dan aktif di beberapa pertunjukan-pertunjukan teater baik sebagai sutradara, pemain maupun penata artistik. Pengalaman dari teater tersebut pulalah di tahun 2010, membawa Prusdianto untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat Magister di Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni dengan Minat Studi Penciptaan Seni Teater di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan berhasil mendapatkan gelar Magister Seni (M. Sn) di tahun 2012. Dengan berberkal M. Sn tersebut menjadi tiket bagi Prusdianto untuk mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan jabatan Dosen. Tahun Pertama mendaftar sebagai dosen, Prusdianto berhasil menyingkirkan semua saingannya dengan menjadi kandidat satu-satunya calon dosen di ISI Yogyakarta dengan formasi dosen S1 Seni Teater. Namun, ISI Yogyakarta lebih memilih untuk mengosongkan formasi mereka dari pada harus menerima Prusdianto. Barulah di tahun kedua di tahun 2015, Prusdianto diterima sebagai dosen tetap di UNM dengan formasi dosen S1 Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik. Sejak tahun 2015 sampai sekarang, Prusdianto telah menghasilkan berbagai karya penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat. Saat ini, Prusdianto kembali tercatat melanjutkan pendidikan sebagai Mahasiswa Doktoral Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang dibiayai oleh Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Kemendikbudristek.

  • Bagikan