Dio Majang, Mandi Suci Tradisi Bugis

  • Bagikan


SAHRUL SYUKUR
Program Studi Ekonomi Syariah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare

Adat merupakan kebiasaan yang dilakukan berulang kali oleh sekelompok masyarakat pada waktu tertentu dan sudah turun temurun dilakukan dengan tujuan untuk dilestarikan. Berdasarkan pemahaman saya dalam sebuah adat mengandung nilai, norma dan keyakinan yang dipercayai oleh sekelompok masyarakat tertentu sehingga menjadi ciri khas suatu daerah.

Pesta pernikahan adat di Indonesia biasanya diikuti dengan adanya beberapa rangkaian adat pernikahan. Pelaksanaan adat pernikahan dipengaruhi oleh bentuk dan sistem pernikahan adat setempat dalam kaitannya dengan budaya masyarakat yang dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Masyarakat bugis adalah salah satu kelompok masyarakat yang hidup di nusantara, yang mana memiliki pandangan tentang eksistensi manusia. Eksistensi manusia yang hidup dalam ranah kebudayaan bugis tentunya memiliki ciri khas yang dapat membedakannya dengan kebudayaan yang lain. Bugis menjadi sebuah identitas bagi mayoritas masyarakat yang berada di wilayah Sulawesi bagian Selatan yang telah lama membangun dan mempertahankan kebudayaannya.

Salah satu prosesi pernikahan masyarakat bugis di kota Parepare terdapat sebuah tradisi pada acara pernikahan yang jarang ditemukan di daerah lain selain di kalangan masyarakat bugis yaitu tradisi yang dikenal dengan sebutan dio majang.

Tradisi dio majang merupakan warisan budaya orang tua terdahulu dalam bentuk mandi yaitu mandi kembang yang dilakukan oleh calon pengantin sebelum dilaksanakan acara pernikahan. Orang tua atau keluarga calon pengantin yang akan melakukan ritual mandi ini memanggil sanro paddio untuk mendoakan air yang akan digunakan untuk melakukan ritual mandi.

Berdasarkan keyakinan masyarakat bugis bahwa dio majang adalah proses siraman untuk mensucikan pengantin baik dari mensucikan diri dari perbuatan dosa yang pernah dilakukan, mensucikan hati dan niat dalam menjalankan kehidupan rumah tangga agar rumah tangga tersebut berjalan baik dan keluarganya selalu sehat dan langgeng dalam berkeluarga.

Kaitannya adat tersebut dengan nilai keagamaan ialah dio majang digunakan dengan harapan doa dan pembersih diri sebelum mengarungi bahtera rumah tangga. Dalam Islam tidak mengenal istilah dio majang, akan tetapi dalam ajaran Islam dikenal istilah taharah yang dilakukan dengan cara meratakan air keseluruh badan untuk bersuci dari hadas besar. Makna dari dio majang dan taharah ini adalah untuk menghilangkan kotoran dalam Islam atau biasa disebut hadas dengan tujuan untuk mecapai kesucian agar sah dalam melakukan ibadah, shalat, puasa dan haji.

Adat pernikahan seperti dio majang masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat bugis di kota Parepare karena menurutnya tradisi ini adalah tradisi dari orang tua terdahulu yang harus dilestarikan. Akan tetapi sebagian masyarakat yang tidak melaksanakan adat ini, mereka menganggap persiapan bahan untuk adat ini merepotkan karena harus mencari majang alosi atau majang kaluku untuk digunakan sebagai bahan untuk dio majang yang mana didaerah tempat tinggal mereka sudah jarang sekali ditemui pohon pinang atau pohon kelapa yang tumbuh.

Adapun bahan yang perlu dipersiapkan keluarga calon pengantin saat pelaksanaan dio majang seperti majang alosi atau majang kaluku, telur ayam kampung, kembang dan air. Masyarakat dahulu memaknai majang alosi dan majang kaluku ini agar rejeki calon pengantin dapat berkembang seperti buah pinang yang selalu berkembang dan buah kelapa yang semakin lama semakin bagus sehingga diharapkan agar hubungan calon pengantin nantinya akan awet.

Dio majang dilaksanakan sehari menjelang hari pernikahan, tempat pelaksanaannya dirumah calon pengantin berdekatan dengan tempat pesta pernikahan nantinya, calon pengantin duduk memakai sarung pada saat akan dimandikan.

Prosesi pelaksanaannya dengan mencampurkan semua bahan dio majang kedalam sebuah gentong yang berisi air dengan direndam, setelah itu sanro paddio majang akan membacakan doa pada air yang berisikan bahan dio majang. Keluarga maupun tetangga dari calon pengantin bisa ikut memandikan dengan cara menyiram calon pengantin menggunakan air yang ada dalam gentong, adapun batasan yang diperbolehkan untuk ikut memandikan (mappadio) hanya untuk tujuh orang saja. Setelah selesai prosesi dio majang, calon pengantin bersiap-siap untuk mandi ulang dan memakai pakaian ganti (mappake). Kemudian calon pengantin yang sudah mappake dipersilahkan untuk menyicipi makanan yang telah disediakan seperti pisang, nasi dan telur rebus (telur ayam).

Pelaksanaan dio majang juga tidak bersifat wajib, apabila masyarakat bugis tidak ingin melaksanakan salah satu adat pernikahan ini tidak menjadi masalah karena tidak akan ada ancaman atau bahaya yang terjadi jika tidak dilakukan. Akan tetapi jika dilaksankan alangkah lebih bagusnya lagi dengan maksud untuk menghargai dan mewarisi salah satu adat pernikahan pada masyarkat bugis. Ini menunjukkan bahwa tidak terdapat paksaan dalam pelaksanaan dio majang karena mengandung nilai kebebasan.

  • Bagikan