Rencana Kenaikan BBM Subsidi, Bambang Haryo: Kegagalan Pertamina

  • Bagikan

SURABAYA, PAREPOS.FAJAR.CO.ID-- Gonjang ganjing kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi kian mengemuka dan menjadi perbincangan hangat masyarakat. Menyikapi hal itu, Pengamat kebijakan publik, Bambang Haryo Soekartono menilai rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi tidak tepat.

Pasalnya, harga minyak mentah dunia menurun tajam berkisar dibawah 90 dolar per barel di pertengahan Agustus 2022 dari 120 dolar per barel beberapa bulan lalu. Bambang Haryo tak menampik jika akhir-akhir ini juga terjadi kelangkaan BBM subsidi yang kemudian disusul pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pernyataan itu terkait BBM bersubsidi akan habis di akhir September 2022 dikarenakan terjadi peningkatan konsumsi BBM subsidi, sehingga membebani APBN.

Menurut anggota DPR RI periode 2014-2019 ini, pemerintah seharusnya paham bahwa penggunaan BBM di tahun 2022 semestinya ada peningkatan sebesar 50 persen dalam kurun waktu 10 tahun, dari 2012 hingga 2022. Hal itu dikarenakan setiap tahun terjadi pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen.
Itu akibat terjadinya peningkatan penggunaan transportasi publik darat, laut, kerta api, logistik, transportasi pribadi serta peningkatan pertanian, nelayan, perkebunan dan Industri transportasi untuk industri kecil dan besar.

Tetapi, lanjut Bambang Haryo, ternyata kuota BBM subsidi tahun 2012 untuk premium sudah sebesar 24,3 juta kiloliter dan solar 14,9 juta kiloliter dengan besaran total subsidi Rp 211 triliun. Bila dibanding saat ini pada 2022 yang subsidi Pertalite hanya 23 juta kiloliter dimana seharusnya bila ada pertumbuhan ekonomi 50 persen kuotanya berkisar 36 juta kiloliter.

Demikian juga solar,  saat ini kuotanya hanya 14,9 juta kiloliter yang seharusnya 21,9 juta kiloliter dan subsidi saat ini di tahun 2022 malah menurun hanya sebesar Rp 208 triliun. "Saya heran kenapa Menteri Keuangan terheran-heran dengan kondisi sisa BBM subsidi saat ini,“ ucap pria yang disapa BHS ini.

"Di sini jelas kuota subsidi tahun ini dikurangi oleh pemerintah sehingga tentunya kuota BBM tidak akan mencapai sampai akhir tahun, dan ini tentu akan sangat merugikan masyarakat karena pemerintah belum bisa menyediakan BBM subsidi cukup, padahal juga tidak diimbangi dengan tersedianya transportasi publik massal yang terkoneksi dengan baik dari point to point," ujar Bambang Haryo yang juga Ketua Harian MTI (Masyararakat Transportasi Indonesia) Jawa Timur.

Lebih lanjut, Alumnus ITS Surabaya ini mengatakan, sebenarnya saat ini, masyarakat sudah dirugikan dari kuota BBM subsidi yang berkurang 25 persen sehingga masyarakat harus menggunakan BBM non subsidi Pertamax. Bahkan masyarakat lebih dirugikan lagi dengan kegagalan Pertamina yang tidak bisa menyediakan BBM subsidi premium yang tentu jauh lebih murah dari Pertalite.

Sehingga beban kemahalan ke masyarakat menjadi bertambah karena harus menggunakan BBM Pertalite. Disebutkan mantan Wakil Sekjen MTI Pusat ini, kegagalan Pertamina juga diperparah dengan kemampuan mengimpor bahan bakar dengan harga tinggi dari beberapa negara, sehingga harga jual ke masyarakat menjadi mahal. Ini terbukti dari data globalpretrolprices.com pada solar non subsidi (diesel), harga jualnya di Indonesia berada di urutan ke-70 kemahalannya dari 190 negara.

Di mana, peringkat 1 Iran hanya 0,011 dolar AS (Rp 163) lalu peringkat 2 Venezuela hanya 0,022 dolar AS (Rp 327), peringkat 3 Libya hanya 0,033 dolar AS (Rp 447), peringkat 4. Saudi Arabia 0,168 dolar AS (Rp.2.500) di mana negara ini adalah pengekspor minyak ke Malaysia maupun Indonesia. Bahkan di peringat 8  Egypt atau Mesir hanya 0,378 dolar AS (Rp 5.600,-), peringkat 13. Malaysia hanya 0,470 dolar AS (Rp 7.137) yang tidak disubsidi oleh pemerintahnya.

Lalu, peringkat 30, Taiwan hanya 0,903 dolar AS (Rp 13.450) dan Thailand hanya 0,975 dolar AS (Rp. 14.527). Kedua negara ini tidak menghasilkan minyak dan gas tetapi harga solar/diesel lebih murah dari Indonesia. Karena itu, Bambang Haryo, menilai sangat mengherankan Indonesia yang berada di peringkat ke-70 harganya 1,293 dolar AS (Rp 19.925). Padahal Indonesia masuk negara penghasil minyak terbesar nomor 3 di Asia dan penghasil gas terbesar di Asia. "Bahkan menurut Dirut Pertamina sejak April 2019 Indonesia sudah tidak lagi mengimpor solar dan sudah bisa menghasilkan solar sendiri, seharusnya harga solar di Indonesia bisa lebih rendah dari Malaysia," kata BHS. 

Ditegaskan dia, di Indonesia BBM Oktan 95 pun masuk peringkat ke-50 di dunia dari peringkat 1. Venezuela yang hanya 0,022 dolar AS (Rp 327), peringkat 2. Libya hanya 0,033 dolar AS (Rp 447), peringkat 10. Malaysia hanya 0,457 dolar AS (Rp. 6.809) jauh dari Indonesia, sedangkan Indonesia peringkat ke-50 mempunyai besaran 1,167 dolar AS atau setara dengan Rp 17.540. Padahal, Indonesia merupakan negara penghasil minyak jauh lebih besar dari Malaysia yang hanya sekitar 60 persennya saja.

"Ini harusnya menjadi satu penilaian pemerintah terhadap pertamina yang kurang bisa maksimal memberikan pelayanan terbaik terutama mengusahakan untuk mengimpor BBM subsidi dengan harga murah, karena kuota dan harga BBM subsidi saat ini tidak rasional. Maka saya menolak harga BBM subsidi dinaikkan saat ini. Bila kondisi anggaran APBN terbatas, maka pemerintah saat ini tidak perlu menaikkan harga BBM bersubsidi tetapi mengalihkan sisa kuota BBM subsidi fokus untuk transportasi publik dan logistik baik massal dan tidak massal terutama di transportasi laut, karena jargon Presiden Jokowi adalah maritim termasuk nelayan dan petani menjadi prioritas BBM subsidi serta kebutuhan UMKM (industri kecil) agar perekonomian masyarakat tidak terpengaruh, kata BHS

Dan tugas kementerian terkait transportasi publik dan logistik yaitu kementerian perhubungan, lanjut Bambang Haryo, harusnya ikut mempertahankan keberlangsungan hidup transportasi publik dan logistik agar harga BBM subsidi di transportasi publik, logistik, pertanian dan nelayan tidak dinaikkan. (*)

  • Bagikan