Pancasila di Simpang Jalan: Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

  • Bagikan

Oleh: Dr. Muhammad Iqbal, S.H., M.Psi., M.H.   

Mengajar di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar bidang filsafat hukum, etika, dan tanggung jawab profesi hukum. Aktif berbicara di berbagai forum pengabdian masyarakat dan mendukung pendidikan kritis dan hukum kritis.

1 Juni diperingati kembali sebagai Hari Lahir Pancasila. Pidato resmi, spanduk, dan baliho mulai muncul dan menghiasi ruang publik dan media. Upacara dilakukan dengan formalitas hampir sempurna. Namun, pertanyaan utamanya adalah: apakah prinsip-prinsip Pancasila masih relevan dalam kehidupan sehari-hari kita? Apakah Pancasila sekarang hanyalah simbol ritual yang kehilangan nilai-nilai moralnya?

Dalam konstitusi, Pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, dan falsafah hidup bangsa Indonesia selalu ada. Namun, Pancasila saat ini berada di tengah-tengah antara keinginan untuk dihidupkan secara substantif dan kecenderungan untuk hanya menjadi simbol.

Nilai-nilai yang Dibaca tapi Belum Dihayati

Menginternalisasi Pancasila tidak sekadar mengucapkan lima sila atau mengulangi teks. Sebaliknya, itu adalah proses internalisasi nilai-nilai yang memerlukan kesadaran moral warga negara, penerapan kebijakan, dan gaya hidup yang sejalan dengan prinsip-prinsip seperti ketuhanan, keadilan, kemanusiaan, dan persatuan.

Namun, prinsip-prinsip Pancasila sepertinya tidak lagi relevan di dunia nyata. Kelompok-kelompok yang memaksakan tafsir agama dengan semangat eksklusif, bukan inklusif, sering mengambil alih sila pertama, "Ketuhanan yang Maha Esa."

Kita melihat peningkatan ujaran kebencian, intoleransi, dan kekerasan berbasis identitas keagamaan daripada perlindungan kebebasan beragama dan toleransi.

Di tengah krisis kemanusiaan, sila kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab," sepertinya hanyalah kata-kata kosong.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak, ketimpangan pendidikan, dan kejahatan kemiskinan struktural masih belum diselesaikan. Di mana keberadaban dan keadilan kita?

"Persatuan Indonesia", sila ketiga, semakin terancam oleh politik identitas dan polarisasi sosial. Bukan untuk memperkuat koneksi kebangsaan, konflik politik justru memperkuat perbedaan antara kelompok. Nasionalisme palsu dipromosikan untuk kepentingan kelompok daripada kepentingan nasional.

Selain itu, sila keempat dan kelima yang berkaitan dengan demokrasi dan keadilan sosial menghadapi tantangan yang signifikan. Sekarang kita melihat demokrasi yang seharusnya bergantung pada transaksi.

Keputusan politik sering kali datang dari ruang elitis yang tertutup, bukan dari nalar publik. Selain itu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih menjadi janji yang tidak terpenuhi.

Pancasila dalam Perspektif Formal dan Manfaatnya

Hari ini, masalah utama dalam internalisasi Pancasila bukan karena tidak adanya sejarah atau dokumen; sebaliknya, masalahnya terletak pada tingkat keteladanan yang rendah, pendidikan karakter yang rendah, dan pendekatan negara yang cenderung formalis. Upacara yang diadakan setiap 1 Juni atau 17 Agustus tidak dapat menyentuh akar kesadaran masyarakat jika tidak disertai dengan praktik yang konkret dan etis dalam kebijakan dan perilaku publik.

Ironisnya, orang-orang yang berkuasa dalam birokrasi dan politik seringkali melanggar Pancasila meskipun mereka mengatakan bahwa itu penting. Kolusi, nepotisme, dan korupsi masih merajalela. Ketimpangan ekonomi dan sosial terus meningkat. Ini adalah di mana "simpang jalan" berada di antara nilai yang diagungkan dalam simbol tetapi tidak dilaksanakan dalam kehidupan nyata.

Membangun Jalan Etis: Dari Simbolisme ke Perilaku

Internalisasi Pancasila mengharuskan kita menjadikannya sebagai etika publik dan pijakan moral bagi semua orang. Pertama dan terpenting, pendidikan Pancasila di perguruan tinggi harus direvitalisasi dari sekadar dogmatisasi menjadi pendidikan yang berfokus pada konteks dan reflektif. Bukan hanya menghafal sila, siswa harus diajak berbicara dan menganalisis realitas sosial menggunakan nilai-nilai Pancasila.

Kedua, sila kelima berarti bahwa negara harus menunjukkan kepedulian yang nyata terhadap yang lemah dalam kebijakan, mulai dari sistem pendidikan dan kesehatan hingga penegakan hukum yang berkeadilan.

Ketiga, pejabat publik harus menunjukkan kepedulian sosial, integritas, dan transparansi. Tanpa nilai hidup yang melekat dalam kehidupan rakyat, Pancasila hanya akan menjadi monumen ideologis yang tidak berguna.

Keempat, masyarakat sipil harus meningkatkan partisipasi sosial-politik yang didasarkan pada nilai. Komunitas budaya, tempat diskusi, dan gerakan sosial adalah tempat yang baik untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam bingkai Pancasila.

Menjaga Semangat Pancasila

Pancasila bukan sekadar peninggalan sejarah; itu adalah gagasan kebangsaan yang abadi yang perlu diperjuangkan. Pancasila membutuhkan pendukung baru, bukan hanya dalam pidato, tetapi juga dalam tindakan, di tengah dorongan pragmatis politik, fundamentalisme agama, dan dominasi kapitalisme ekonomi.

Sekarang kita berada di antara dua jalan: apakah akan mengubah Pancasila menjadi mitos formal yang dilupakan atau menjadi etika kolektif yang mengarahkan bangsa? Bukan hanya pemerintah tetapi juga warga negara yang sadar dan bertanggung jawab, kita semua harus membuat keputusan. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version