Wartawan tak Bisa Menulis

  • Bagikan

Beberapa hari lalu saya berjumpa seorang kawan. Dia memimpin media online. Dia mengeluhkan kualitas wartawan sekarang, termasuk di media yang dia pimpin, karena kemampuan menulis yang buruk. “Pernah saya tegur, eh kok tulisanmu ini nggak jalan. Coba tulis ulang,” katanya menjelaskan suatu kejadian. Tapi apa kata si wartawan? “Tolonglah Pak Pemred.  Betul kan supaya bagus,” kata teman saya, mengulang dialog dia dengan wartawannya itu. “Eh itu bukan pekerjaan saya. Sana kau minta tolong sama editormu,” balasnya.

Catatan: Hendry Ch Bangun
(Wakil Ketua Dewan Pers)

Saya tersenyum saja mendengar ceritanya itu. Saya mengingat-ingat dulu ketika baru menjadi wartawan, melihat wajah Pemred saja sudah deg-degan, mana berani pula minta tolong Boss memperbaiki tulisan. Waktu menyetor hasil ketikan berita sehabis meliput saja, saya duduk diam menunggu coret-coretan redaktur.   Tidak banyak cingcong. Kalau langsung lolos, senang hati rasanya. Kalau ada coretan sedikit, diperbaiki, sesuai permintaan. Kalau dibuang ke tong sampah, ketik lagi dari awal (meski saya tidak pernah mengalaminya).

Bertahun-tahun menulis berita, makin lama berita yang kita buat akan semakin baik. Ditambah dengan membaca berita dari kantor berita asing, baca koran asing yang dilanggani koran tempat kita bekerja, membaca berita dari senior-senior yang hebat, akhirnya seorang wartawan muda akan menemukan jati dirinya. Dia lalu mempunyai ciri sendiri, yang bisa jadi kelak akan membentuk dirinya menjadi wartawan yang diakui pula.

Semua itu merupakan proses pematangan yang tidak ada jalan pintasnya. Belajar dan belajar, itu saja. Tentu bagus kalau ada pelatihan formal, tetapi yang biasanya terjadi adalah learning by doing. Tidak malu bertanya pada ahlinya. Bermula dari mencontoh, lama-lama akan menguasai bidangnya.

Beruntung mereka yang sebelum menjadi wartawan mendapatkan pelatihan dari medianya, ada proses seleksi yang mengukur kemampuan untuk memahami profesinya mulai dari sisi ketrampilan, pengetahuan, maupun wawasan. Tetapi di masa sulit sekarang ini, mungkin hanya sebagian kecil saja perusahaan media yang masih mempertahankan pendidikan dan pelatihan bagi calon wartawan. Sisanya sama sekali tidak atau mungkin sekadar orientasi kerja selama satu-dua hari.

Teman saya yang mengeluh tadi mengatakan,  proses rekrutmen cenderung tidak mengikuti pola yang terjadi di perusahaan pada umumnya. Rekrutmen dilakukan perusahaan tanpa konsultasi dengan redaksi. Siapa yang berminat, setelah ada petunjuk sedikit, langsung disuruh bekerja. Yang utama adalah apabila dia mampu memberikan kontribusi ke medianya. Kalau wartawan cetak, maka dia akan segera diterima apabila bisa mencari pelanggan—atau laku menjual koran—dengan jumlah tertentu. Kalau media siber akan dianggap bagus apabila memiliki relasi dengan pejabat di kantor pemerintahan daerah sehingga mau memasang iklan atau advertorial.

Apabila calon wartawan baru itu dapat memberi keuntungan bagi perusahaan maka kedudukan mereka menjadi istimewa, kadang bagi Boss Besar, dia lebih dihargai dibanding pimpinan struktural di redaksi. Kalaupun dia tidak cakap menulis berita, maka laporannya bisa digarap oleh redaktur agar layak siar. Dalam satu kasus yang saya temui, reporter ini mengaku dia hanya menyampaikan via telpon acara yang dia ikuti, kemudian beritanya dibuatkan sekretaris redaksi atau redaktur.

Maka tidak heran ketika mengikuti Uji Kompetensi Wartawan, di mata uji menulis berita, sampai berakhir waktu reporter itu hanya bisa menulis tidak sampai empat baris! “Tolonglah, Pak. Bantu saya biar lulus,” ujar lelaki berumur sekitar 50 tahun itu dengan wajah memelas. Dia koresponden sebuah media cetak terbit di Jakarta. “Ya tidak mungkin, Pak. Dengan bukti tulisan seperti ini, kalau saya luluskan maka saya yang akan dipecat sebagai penguji,” begitu saya jawab.

Setelah saya jelaskan dengan sedikit panjang lebar akhirnya dia pasrah dan tahu bahwa tulisannya memang membuat dia tidak layak. “Kenapa tidak bisa menulis, kan Anda sudah bekerja satu tahun lebih,” kata saya melihat informasi profilnya. “Biasanya saya hanya melapor melalui telpon. Saya mencatat tiap acara yang saya ikut, sambutannya, nama-nama orangnya, lalu saya laporkan ke sekretaris redaksi. Nanti beritanya akan ditulis, atas nama saya,” katanya jujur.

Baru saya faham mengapa dia sulit sekali menuliskan kalimat, beda dengan peserta uji kompetensi lainnya. “Sebelum bekerja di media sekarang,  Anda bekerja di mana?” Lalu dengan sedikit malu-malu dia memberi jawaban yang mengejutkan. “Sebenarnya saya pemilik toko kelontong Pak. Nah waktu itu ada kepala biro datang, lalu ngobrol-ngobrol. Lalu nawarin saya menjadi wartawan, asal memberi dia uang sedikit. Setelah pikir-pikir ok saja. Menjadi wartawan kan hebat,” katanya. Dia tinggal di sebuah provinsi di Sulawesi.

Tapi kejadian seperti ini pernah saya temui ketika menguji di sebuah provinsi di Kalimantan. Menulis tidak bisa, tetapi di mata ujian jejaring, Kapolda, Danrem atau Kepala Dinas, dengan mudah dia hubungi. Dia rajin berkunjung ke kantor-kantor itu karena itu membuat dia tampil hebat di mata orang yang mengenalnya.

Soal menulis berita, ya tunggu press release saja. Maka dia tampaknya bisa membuat berita karena mengulang apa yang sudah dibuat oleh Humas instansi yang dia liput. Dan ketika dipaksa untuk menulis berita dengan topik tertentu di uji kompetensi, dia tidak mampu. Tidak kompeten.

***

Dalam proses verifikasi faktual yang dilakukan Dewan Pers terutama sepanjang tahun 2021 ini, salah satu penekanan adalah berita yang dibuat sendiri. Berita yang bersifat press release dari instansi tidak boleh lebih dari 40 persen, termasuk di dalamnya berita yang tergolong kerjasama. Kalau belum mencapai, diberi waktu selambatnya tiga bulan untuk memperbaiki komposisi konten. Jika tidak tercapai, dengan sendirinya media itu tidak akan terverifikasi faktual.

Sebagai media lokal, manajemen redaksi didorong untuk membuat liputan setempat agar semua potensi yang ada tergali, untuk memberi dorongan dan motivasi. Ada banyak prestasi entah di bidang pendidikan, wisata, kesenian, pertanian, olahraga, dsb. Ada banyak tokoh-tokoh, teladan, yang kalau diekspos dapat memberi inspirasi bagi warga masyarakat lain untuk menirunya.

Tetapi kebanyakan malah asyik menunggu berita datang. Duduk-duduk di kantor sampai masuk email dari humas instansi, sekaligus fotonya, tinggal upload atau dimuat di koran. Lama kelamaan wartawan ini hanya akan menjadi corong saja. Lupa pada tugas dan profesinya untuk mengabdi pada kepentingan publik, menyediakan informasi yang dibutuhkan, untuk menjalankan kontrol sosial.

Karena sudah menjadi penyakit, tidak mudah memperbaiki kerusakan yang telah terjadi. Harus diakui pula penyebabnya adalah karena petugas Humas di instansi umumnya telah mampu membuat rilis berita yang “siap muat”, sudah mengandung 5W1H, lead-nya menarik, sering disertai data, dan foto. Ini dikarenakan mereka sudah banyak ikut pelatihan, dan bidang humas kerap dipimpin oleh mereka yang pernah menjadi wartawan dengan track record bagus. ***

Kalau dibuat sensus, bisa jadi Indonesia memiliki “wartawan” terbanyak di dunia, perkiraan jumlahnya di atas 100.000 orang, meskipun dalam catatan Dewan Pers mereka yang telah memiliki nomor identitas (sertifikat) kompetensi tidak lebih dari 18.000 orang. Demikian juga jumlah media, kita pasti juara dibanding dengan negara lain. Disebut-sebut jumlah media di Tanah Air 40.000an meski yang terverifikasi (faktual dan administrasi) baru 1700-an, dan yang sudah punya akun dan proses mendaftar sekitar 13.000-an.

Kalau hanya menang jumlah tapi kualitasnya buruk, tentu ini tidak perlu untuk dibangga-banggakan. Wartawan, ya seharusnya tidak hanya terampil membuat berita,  tulisannya harus merupakan hasil olah bahasa yang mencerminkan pengetahuan dan intelektualisme. Media ya semestinya tidak hanya asal penuh dengan informasi, tetapi berita yang mengedukasi, informasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, dan menjadi kontrol atas penyelenggaraan negara dan agenda swasta.

Bisa kah itu tercapai? Tergantung dari kita semua para pemangku kepentingan pers khususnya masyarakat pers itu sendiri. Kalau dianggap masalah penting, mari kita perbaiki mulai dari diri masing-masing. Organisasi wartawan membenahi kemampuan dan kapasitas anggotanya, organisasi perusahaan pers memperbaiki kinerja anggotanya, sebagai contoh. Lalu Negara dan masyarakat membantu sesuai kapasitas dan perannya.

Sulit dan perlu waktu memang.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version