Warga Desa Tolak Aktivitas Mega Proyek DAM Budong-Budong di Mateng

  • Bagikan

MATENG, PAREPOS.FAJAR.CO.ID -- Warga Desa Salulekbo menolak aktivitas mega proyek pembangunan bendungan (DAM) Budong–Budong Desa Salulekbo, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah (Mateng). Penolakan itu, disebabkan masyarakat belum mendapatkan kepastian dari pemerintah, terkait ganti rugi lahan yang terkena areal pembangunan tersebut.

Proyek tersebut dinaungi Balai Sulawesi III Palu, anggarannya Rp1,2 triliun. Pemenag tender tersebut, oleh pihak perusahaan BUMN yang dikerjakan PT Brantas Abipraya dan PT Bumi Karsa.

Aksi penolakan warga setempat diwarnai blokade jalan yang dilintasi di perusahaan dengan mendirikan posko jaga dan memasang spanduk bertuliskan “Front Perjuangan Rakyat Salulekbo".

Natur, salah seorang warga yang memiliki lahan masuk di lingkaran proyek pembangunan Bendungan Budong–Budong, saat dikonfirmasi Minggu, 17 Juli 2022 mengaku belum dibayarkan.

Dia menyebutkan, sejak dari tahun 2017 dilakukan sosialisasi, pemilik lahan dijanji untuk diganti rugi. Namun sampai saat ini, tahun 2022, belum jelas ganti rugi yang dibicarakan.

“Saya tidak tahu karena sampai hari ini, tidak ada yang mau bertanggung jawab, malah mau dibayarkan secara bertahap. Kan kita yang kasihan,“ kata Natur.

Padahal, kata dia, saat pemilik lahan konsultasi publik di Kantor Kecamatan, ada penyampaian dari pihak perusahaan, bahwa tidak boleh disentuh lahan warga sebelum ada pembayaran hak untuk pembebasan lahan.

Dia mengaku, saat ini pihak Balai mau eksekusi lahan warga, tentu pemilik lahan menolaknya karena ada lahan produksi warga yang belum diselesaikan dengan jumlah 500 Hektar dari 250 kepala keluarga

“Kalau lahan saya sendiri enam hektar, dan semua sudah ditanami kelapa sawit, coklat, durian, dan pisang. Di Desa Salulekbo, kami sudah lama tinggal selama dua puluh dua tahun disini,“ sebutnya.

Senada dengan Siential, mengaku melakukan aksi blokade jalan, bukan tanpa alasan. Salah satunya adalah pembayaran hak–hak pemilik lahan yang sampai saat ini belum tuntas.

"Sekarang ini, semua warga terdampak berkomitmen untuk melarang pihak perusahaan dengan cara memblokade mereka secara beramai-ramai,” katanya.

Dia menceritakan, sejak 2017 sudah dilakukan sosialisasi hingga saat itu sepakat akan dibayarkan kompensasi jika ada lahan warga yang masuk dalam proyek itu.

“Awalnya masyarakat menerima bendungan tersebut, karena dijanjikan akan diganti rugi mulai dari tanah, tanaman dan bangunan bagi warga yang terdampak dari empat dusun,“ sebutnya.

Namun, kata dia, saat ini pekerjaan sudah mulai dilaksanakan untuk pembangunan bendungan dan bahkan saluran pengalihan air untuk bendungan sudah dikerja. Namun, kejelasan untuk pembayaran ganti rugi ke warga belum ada kejelasan sampai sekarang berapa nilainya.

Apalagi Tim yang menaksir barang atau lahan (afrizal), sampai saat ini belum ada turun ke lapangan untuk melakukan penilaian. Sementara pihak balai sudah mendapat rekomendasi pinjam pakai hutan dari Kementerian Kehutanan. Padahal diketahui lokasi yang disebut bukan hutan, tapi pemukiman warga dan kebun produksi.

Menurutnya ada yang janggal di kegiatan ini. Seperti, Amdal perusahaan menyebutkan dan menegaskan tempat pembangunan bendungan berjarak jauh dari pemukiman warga, sehingga dianggap layak untuk ditempatkan bendungan.

Dan Desa Salulekbo dianggap kawasan hutan oleh balai. Padahal Desa Salulekbo ada bangunan fasilitas umum seperti masjid, gereja, pasar, Pustu dan sekolah serta proses pemerintahan desa tetap berjalan dan masyarakat taat membayar pajak walaupun mereka baru memiliki surat kepemilikan tanah berupa Sporadik.

“Sekarang tidak boleh ada aktivitas sebelum ada pembayaran ganti rugi lahan seperti tanah, tanaman dan bangunan karena masyarakat sekarang tetap bertahan menyegel pusat pembangunan bendungan," tandas Siential.

Sementara mantan Kades Salulekbo Umar saat dihubungi melalui Whatsappnya Minggu 17 Juli 2022 mengatakan, selalu ada aksi dari warga, karena pihak balai selalu mau memulai pekerjaan badan bendungan.

"Namun belum ada kepastian terkait keputusan harga tetang tanah atau tanaman warga, seandainya sudah ada nilai tidak merugikan warga yang terdampak pasti masyarakat tidak ada penolakan," katanya. (slm)

Editor: SYAHRIR HAKIM
  • Bagikan