Hasrullah: Jangan Jadi Pengkhianat Reformasi

  • Bagikan
Hasrullah

PAREPOS.FAJAR.CO.ID - Penggunaaan institusi negara dalam pemilihan umum (pemilu) -- termasuk pemilihan presiden (pilpres) -- di zaman Orde Baru, menjadi salah satu pemicu gerakan reformasi. Pemerintahan Soeharto yang saat itu begitu kuat dan mengangkangi hukum untuk kepentingan kroni, akhirnya tumbang oleh gerakan mahasiswa dan para aktivis ‘98.

Peristiwa tersebut diharapkan menjadi pelajaran bagi penguasa saat ini, khususnya dalam menempatkan posisi pada kontestasi Pilpres 2024.

Pakar komunikasi politik dari Unhas, Hasrullah,  mengingatkan hal itu ketika dihubungi wartawan di Makassar petang tadi.

Ia dimintai tanggapan atas pergerakan sejumlah pejabat negara dalam pilpres yang menunjukkan keberpihakan kepada kandidat tertentu.

Teranyar, Jokowi bahkan menyebutkan bahwa, presiden pun  boleh berpihak.  Sementara sebelumnya, Jokowi sendiri selaku presiden beberapa kali meminta agar aparat negara, penyelenggara pemilu, netral dalam pemilu/pilpres. 

Namun, Hasrullah tidak ingin mengomentari terlalu jauh pernyataan Jokowi itu. Ia menyerahkan kepada penyelenggara pemilu dan masyarakat untuk menilainya. 

Ia hanya mengingatkan agar peristiwa ‘98 itu menjadi peringatan, dengan tidak memanfaatkan kekuasan sebagai alat penekan untuk kepentingan kroni.

“Tahun 1998, para mahasiswa dan aktivis yang sudah jenuh melihat pemerintah saat itu yang mengangkangi hukum untuk kepentingan kroninya bergerak serentak. Orde Baru yang begitu kuat, akhirnya tumbang. Hadirlah reformasi, era yang ingin mendudukkan hukum di atas segalanya,” ujarnya.

Hasrullah mengatakan, pemerintah saat ini adalah buah reformasi itu.  

Karenanya, lanjut Hasrullah, sebagai buah reformasi pemerintah dan penyelenggara negara lainnya harus menunjukkan sikap pro-reformasi itu dalam perhelatan pesta demokrasi 2024 ini.

“Siapa yang tidak memihak reformasi, berarti dia mengkhianati reformasi. Janganlah jadi pengkhianat reformasi,” tandasnya.

“Saya bicara bukan soal memihak atau tidak memihak. Tapi bagaimana memperjuangkan konsistensi perjuangan para mahasiswa dan aktivis  ‘98. Bagaimana kuatnya Orde Baru, yang puluhan tahun mengangkangi aturan-aturan hukum untuk kepentingan kroni. Aparat negara dikuasai dan dimanfaatkan. Sangat kuat, tapi akhirnya tumbang juga,” tandas penulis buku Dendam Konflik Poso yang diterbitkan Gramedia ini.

“Apakah kita harus jatuh ke lubang yang sama, mengalami rezim kekuasaan? Cukong-cukong politik harus sadari itu. Sekali lagi, janganlah kita menjadi pengkhianat reformasi. Jangan mengangkangi gerakan reformasi. Ingat, bukan saya, bukan wartawan yang mencatat. Tapi sejarahlah yang mencatat jika sampai kontestasi pilpres 2024 mengalami pengkhianatan reformasi,” tandasnya.

Hasrullah secara terang-terangan menyampaikan kekecewannya kepada Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah. Ia menyebut, mereka dulu adalah pialang-pialang reformasi. Namun, sekarang “menjilat” ke penguasa dan dianggap mengkhianati reformasi.

“Mereka akan dicatat dalam sejarah. Terus terang, saya sangat kecewa kepada Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah,” ujarnya.

Menurut Hasrullah, dalam situasi seperti sekarang, salah satu yang dianggap dapat menjaga agar reformasi tidak dikhianati adalah penyelenggara pemilu. Karenanya, dia meminta agar lembaga-lembaga tersebut menyelenggarakan perhelatan lima tahunan itu secara netral.

“Bekerjalah untuk bangsa dan negara, bukan untuk penguasa. Mari sama-sama bangun demokrasi yang sehat, demokrasi yang diidam-idamkan,” pesannya.

Pun kepada pejabat-pejabat negara, dalam situasi politik seperti sekarang harus membangkitkan kesadaran, dengan berkepala dingin lebih melihat kepentingan negara ke depan. “Jangan ikut-ikutan menjadi pengkhianat reformasi,” tandas dosen yang kerap menjadi narasumber seminar, baik lokal maupun nasional ini. (*)

  • Bagikan