Suara Hasrullah ke Negeri Jiran

  • Bagikan

Catatan: Haerul Akbar

DOKTOR HASRULLAH. Seorang komunikolog. Penulis dan narasumber di sejumlah media cetak dan media siber. Di kampus tempatnya mengajar, Universitas Hasanuddin, dia mengampu mata kuliah komunikasi politik di fakultas ilmu sosial dan politik.

Pekan lalu, di beberapa media siber saya menulis sosok pria kelahiran 7 Maret 1962 ini. Saya tertarik dengan kemunculannya sebagai narasumber di beberapa televisi nasional selama kampanye pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres). Sekitar 6 kali tampil live. Bersama guru besar dari beberapa kampus lain di Tanah Air. Belum lagi tulisan serta komentarnya di media cetak dan online terkait pilpres itu. Jumlahnya puluhan.

Dua malam lalu, dia muncul lagi di televisi. Kali ini di Astroawani, saluran televisi berlangganan milik Astro di negeri jiran: Malaysia. Televisi dengan program siaran utama adalah berita dan gaya hidup.

Hasrullah cukup beruntung bisa tampil di lembaga penyiaran yang berkantor pusat di Bukit Jalil, Kuala Lumpur, itu. Bagaimana tidak, Astroawani adalah sebuah saluran televisi yang sangat dipercaya masyarakat Malaysia. Bahkan -- seperti laporan yang diterbitkan Reuters Institute for the Study of Journalism dan Universitas Oxford pada 2021-- tingkat kepercayaan terhadap televisi ini mencapai  70 persen.

Dalam name text di tayangan langsung tersebut, status Hasrullah ditulis dalam Bahasa Malaysia: pensyarah Universitas Hasanuddin. Artinya dosen atau pengajar dari Universitas Hasanuddin. Lokasi kampusnya di Makassar. Sangat jauh dari Bukit Jalil, Malaysia, markas pusat Astroawani

Untuk televisi nasional yang bermarkas di Jakarta, Hasrullah terakhir muncul di KompasTV akhir pekan lalu. Menanggapi ramainya pro-kontra kritikan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kepada Presiden Jokowi dan capres 02 Prabowo-Gibran. Dalam tayangan live itu, Hasrullah memunculkan teori interpretasi-nya Paul Ricoeur. Teori itu sendiri bicara tentang bagaimana memaknai dan memahami makna sebuah diksi atau narasi.

Dari teori itu, Hasrullah membawa pesan untuk tidak terlalu terkecoh dengan diksi Ahok. Bisa jadi apa yang disampaikan itu terdengar kencang, namun di balik itu ada makna lain. Bisa jadi pengalihan isu. Biar  gerakan-gerakan sivitas akademika sejumlah perguruan tinggi di Indonesia tidak ter-blowup. Tenggelam oleh pertentangan narasi Ahok, terutama di media sosial.

Pernyataan Hasrullah itu menarik perhatian pemirsa. Sependapat atau tidak, yang jelas di kanal Youtube-nya KompasTv, tayangan itu sudah ditonton lebih dari 250 ribu pasang mata. Jadi trending topik.

Di Astroawani, Hasrullah bicara soal Dirty Vote. Film dokumenter yang menguak kecurangan Pemilu 2024. Berisi pandangan ahli hukum tata negara, seperti, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Film yang ditayangkan perdana di kanal rumah produksi WatchDoc di Youtube itu, menerangkan betapa sejumlah instrumen kekuasaan digunakan guna memenangkan pemilu. Meskipun prosesnya menabrak dan merusak tatanan demokrasi.

Hasrullah menyatakan, dari perspektif manapun orang akan melihat film itu sebagai propaganda. Tapi, kata penulis buku Dendam Konflik Poso itu, di sisi lain harus juga dilihat bahwa itu adalah sebuah data dan fakta yang dikemas dalam bentuk film. Karenanya, semua pihak juga harus aware dan menerima film yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono itu sebagai kebebasan berpedapat, kebebasan berekspresi. Hasrullah bicara cukup kritis. Namun,  tetap dalam rel seorang pensyarah.

Seperti dalam tulisan sebelumnya, di sini saya tegaskan lagi bahwa, apa yang disampaikan Hasrullah di media massa selama ini, bisa jadi tidak sejalan dengan pendapat sebagian kalangan. Tapi, paling tidak, suara Hasrullah sudah terdengar dan tersebar luas di luar kandangnya: Universitas Hasanuddin. Suaranya sudah lintas kampus, lintas pulau. Dan, dua malam lalu, sudah lintas negara. (*)

  • Bagikan